OPTIMALISASI
PEMBELAJARAN SENI
DI PERGURUAN
TINGGI
Oleh : Wembrayarli, S.Pd.M.Sn
A. PENDAHULUAN
Pendidikan seni sudah harus diberikan pada tingkat
pendidikan yang paling dini, yaitu mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai
dengan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Namun demikian pendidikan seni tidak boleh
diberikan secara serampangan, harus ada kerangka teori dan metodologi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Contoh yang paling krusial yang selama ini
belum dilakukan dalam proses pendidikan seni di sekolah menurut Jamran (2007)
adalah belum diterapkannya periodesasi psikologi anak dalam proses pendidikan
seni. Periodesasi psikologi ini harus diterapkan agar anak melewati masa
psikologi secara benar. Untuk kegiatan pengembangan kapasitas (fisik, mental,
sosial) merupakan satu tuntutan mutlak untuk mempertimbangkan tingkat-tingkat
perkembangan biologis dan psikologis. Pada tahapan umur yang berbeda, perbedaan
karakter perkembangan pada tingkat umur tertentu telah dijelaskan oleh banyak
ahli perkembangan fisik dan psikologi, menuntut respon yang berbeda. Inilah
yang harusnya menjadi landasan dalam proses pendidikan seni.
Namun yang
terjadi saat ini, pendidikan seni masih belum berjalan sebagaimana mestinya,
khususnya pada proses pendidikan usia dini dan sekolah dasar. Padahal
pendidikan seni pada tahap ini sangatlah penting. Karena selain berdiri sendiri
sebagai mata pelajaran bidang studi, pendidikan seni juga mampu menjadi media
bagi mata pelajaran atau bidang studi lain. Dan yang lebih penting lagi bahwa
pendidikan seni kalau diberikan secara
benar, ia mampu memberi kontribusi yang optimal bagi keseimbangan perkembangan
otak kanan dan otak kiri (afeksi dan kognisi).
Persoalan
pendidikan seni di sekolah belum terlaksana sebagaimana mestinya, yakni sebagai
kegiatan pemberian pengalaman estetik, ekspresif, dan kreatif, yang bermakna
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, karena beberapa faktor, antara lain:
guru, kebijakan pendidikan dan fasilitas pendukung pembelajaran (Jamran, 2007).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan mahasiswa PG-PAUD,
sebagai calon pendidik anak usia dini dengan keilmuan yang berhubungan dengan
teori dan praktek seni, sehingga pada saatnya nanti dapat berkontribusi
meningkatkan kualitas pembelajaran seni pada lembaga-lembaga pendidikan anak
usia dini.
Pendidikan Guru
Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD) adalah salah satu lembaga pendidikan tinggi
yang bertanggung jawab menghasilkan guru di taman kanak-kanak dan sekolah dasar
kelas rendah yang memandang penting revitalisasi kurikulum, khususnya
pendidikan seni. Faktor guru sebagaimana dikemukakan di atas relevan dengan
eksistensi program studi PG-PAUD FIP UNP.
Sesuai tuntutan
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, maka jurusan PGTK FIP UNP dengan jenjang
pendidikan diploma II (D2) dikembangkan menjadi jurusan PG-PAUD FIP UNP dengan
jenjang pendidikan sarjana (S1). Dampak perubahan ini salah satunya adalah
perubahan kurikulum dan orientasi pembelajaran, termasuk pula pembelajaran
pendidikan seni. Pembelajaran seni yang berorientasi penguasaan seni secara
praktis (sesuai karakteristik pendidikan pada jenjang diploma) diubah menjadi
lebih berorientasi pada kegiatan praktek dengan teori yang lebur didalamnya
(sesuai karakteristik pendidikan pada jenjang sarjana).
Demikian
pentingnya pendidikan seni, sehingga perlu dilakukan optimalisasi pembelajaran
seni pada anak usia dini. PG-PAUD FIP UNP sebagai lembaga pendidikan tinggi
yang menghasilkan guru anak usia dini dapat melakukan optimalisasi pembelajaran
seni dengan membenahi beberapa hal, antara lain: kurikulum, metode dan media
pembelajaran. Tulisan ini akan memberikan paparan tentang kurikulum, metode dan
fasilitas pendukung pembelajaran yang ideal di PG-PAUD FIP UNP, agar kualitas
pembelajaran seni dapat ditingkatkan, sehingga output-nya memiliki daya saing yang tinggi.
B. PEMBAHASAN
1. Kurikulum
Anak usia 4-6 tahun merupakan bagian dari anak
usia dini yang berada pada rentangan usia lahir sampai 6 tahun. Pada usia ini
secara terminologi disebut sebagai anak usia prasekolah. Perkembangan
kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan dari 50% menjadi 80%. Selain
itu, berdasarkan hasil penelitian/kajian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum,
Balitbang Diknas tahun 1999 menunjukkan bahwa hampir pada seluruh aspek
perkembangan anak yang masuk TK mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada anak
yang tidak masuk TK di kelas I SD (Depdiknas, 2002).
Usia 4-6 tahun, merupakan masa peka bagi anak.
Anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi
anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan
psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini
merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan
fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian,
seni, moral, dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan
stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan
anak tercapai secara optimal (Kamtini dan Husni, 2005: 5-6).
Peran pendidik (orang tua, guru, dan orang dewasa
lain) sangat diperlukan dalam upaya pengembangan potensi anak 4 - 6 tahun.
Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan melalui kegiatan bermain sambil
belajar atau belajar seraya bermain. Dengan bermain anak memiliki kesempatan
untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar
secara menyenangkan. Selain itu bermain membantu anak mengenal dirinya sendiri,
orang lain dan lingkungan. Atas dasar hal tersebut di atas, maka kurikulum
dikembangkan dan disusun berdasarkan tahap perkembangan anak untuk
mengembangkan seluruh potensi anak.
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya
pembinaan yng ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2002). Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan Frobel dalam Sumantri (2005), pendidikan anak usia dini
merupakan landasan terpenting bagi perkembangan anak selanjutnya.
Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan
program pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai enam tahun. Sedangkan,
Raudhatul Athfal adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan umum dan pendidikan
keagamaan Islam bagi anak berusia empat tahun sampai enam tahun. Lebih lanjut
Depdiknas (2002) menambahkan bahwa Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal
sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini berfungsi: (1) mengenalkan
peraturan dan menanamkan disiplin pada anak; (2) mengenalkan anak dengan dunia
sekitar; (3) menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik; (4) mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi; (5)
mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemampuan yang dimiliki
anak; (6) menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.
Sesuai fungsi tersebut, pendidikan anak usia dini
diharapkan dapat membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis
dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif,
bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan
dasar.
Ruang lingkup kurikulum TK dan RA meliputi aspek
perkembangan: (1) moral dan nilai-nilai agama; (2) sosial, emosional dan
kemandirian; (3) kemampuan berbahasa; (4) kognitif; (5) fisik/motorik; (6)
seni. Untuk menyederhanakan lingkup kurikulum dan menghindari tumpang tindih, serta untuk memudahkan guru menyusun program
pembelajaran yang sesuai dengan pengalaman mereka, maka aspek-aspek
perkembangan tersebut dipadukan dalam bidang
pengembangan yang utuh mencakup: bidang pengembangan pembentukan
perilaku melalui pembiasaan dan bidang pengembangan kemampuan dasar (Depdiknas,
2002).
Pertama, bidang
pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan. Pembentukan perilaku melalui
pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus dan ada dalam
kehidupan sehari-hari anak sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Bidang
pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan meliputi pengembangan
moral dan nilai-nilai agama, serta pengembangan sosial, emosional dan
kemandirian. Dari program pengembangan moral dan nilai-nilai agama diharapkan
akan meningkatkan ketaqwaan anak terhadap Tuhan yang Maha Esa dan membina sikap
anak dalam rangka meletakkan dasar agar anak menjadi warga negara yang baik.
Program pengembangan sosial dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak agar
dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan
sesamanya maupun dengan orang dewasa dengan baik serta dapat menolong dirinya
sendiri dalam rangka kecakapan hidup.
Kedua, bidang
pengembangan kemampuan dasar. Pengembangan
kemampuan dasar merupakan kegiatan yang dipersiapkan oleh guru untuk
meningkatkan kemampuan dan kreativitas sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Pengembangan kemampuan dasar tersebut meliputi: (a) Kemampuan berbahasa. Pengembangan ini bertujuan agar anak mampu
mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu
berkomunikasi secara efektif dan membangkitkan minat untuk dapat berbahasa Indonesia;
(b) Kognitif. Pengembangan ini bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir anak
untuk dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat menemukan bermacam-macam
alternatif pemecahan masalah, membantu anak untuk mengembangkan kemampuan
logika matematiknya dan pengetahuan akan ruang dan waktu, serta mempunyai
kemampuan untuk memilah, mengelompokkan serta mempersiapkan pengembangan
kemampuan berpikir teliti; (c) Fisik/motorik. Pengembangan ini bertujuan untuk
memperkenalkan dan melatih gerakan kasar dan halus, meningkatkan kemampuan
mengelola, mengontrol gerakan tubuh dan koordinasi, serta meningkatkan
keterampilan tubuh dan cara hidup sehat sehingga dapat menunjang pertumbuhan
jasmani yang kuat, sehat dan terampil; (d) Seni. Pengembangan ini bertujuan
agar anak dapat dan mampu menciptakan sesuatu berdasarkan hasil imajinasinya,
mengembangkan kepekaan, dan dapat menghargai hasil karya yang kreatif.
Berdasarkan rambu-rambu kurikulum yang berlaku, pengembangan kemampuan dasar anak usia dini
dilakukan terhadap 4 (empat) aspek, yaitu: kemampuan berbahasa, kognitif,
fisik/motorik dan seni. Dari rambu-rambu ini dapat dilihat bahwa aspek seni mendapat
porsi sama pentingnya dengan aspek yang lain, karena pengembangan kemampuan dasar seni bertujuan untuk mengembangkan
kepekaan dan dapat menghargai hasil karya yang kreatif. Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan Sandie (2007), “Pendidikan seni merupakan sarana yang paling
efektif bagi pendidikan kreativitas. Pendidikan seni juga dapat menjadi sarana
pendidikan afektif untuk menyalurkan emosi dan ekspresi anak. Selain itu,
pendidikan seni dapat menjadi pendidikan keterampilan. Jadi secara konseptual,
pendidikan seni sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak”.
Kurikulum PG-PAUD FIP UNP seharusnya dikembangkan
berdasarkan tuntutan kurikulum pendidikan anak usia dini ini. Bagaimanakah
kenyataannya? Pendidikan seni kepada mahasiswa diberikan melalui mata kuliah
Seni Suara/Musik (2 SKS), Metodologi Pengembangan Seni Suara AUD (2 SKS), Tari
Anak Usia Dini (2 SKS), Menggambar I (3 SKS) dan Menggambar II (3 SKS). Apabila
untuk mencapai jenjang pendidikan sarjana, seorang mahasiswa minimal harus
mengumpulkan 144 SKS, maka pendidikan seni yang diterimanya di perkuliahan
hanya 12 SKS atau 8,33 % dari muatan kurikulum PG-PAUD FIP UNP. Dengan 8,33 %
dari muatan kurikulum tersebut, mampukah pendidikan seni mencapai tujuannya
sebagaimana yang dituntut dalam kurikulum ? Beberapa fakta yang ditemukan di
lapangan tentang rendahnya porsi pendidikan seni dalam kurikulum adalah pada kegiatan
Praktek Lapangan Kependidikan (PLK) mahasiswa jenjang Diploma II Jurusan PGTK
FIP UNP. Fenomena yang ditemukan, baik melalui observasi maupun laporan
pembimbing di lapangan (guru pamong), antara lain: (1) Mahasiswa kurang mampu
memperkenalkan lagu baru yang belum dikenal, melalui partitur musik; (2)
Mahasiswa kurang mampu mendireksi (memimpin anak menyanyikan lagu-lagu wajib
nasional); (3) Mahasiswa kurang mampu memberikan beat (ketukan) yang tepat ketika membimbing anak menyanyikan lagu.
Membaca notasi musik, mendireksi dan mengenal unsur musik (irama) adalah tiga
aspek yang sangat prinsip yang harus dikuasai seorang guru TK/RA untuk dapat
mengajarkan seni dengan baik dan benar.
Untuk meningkatkan dan menyiapkan kemampuan
mahasiswa dalam mengajar seni, perlu adanya penambahan alokasi waktu belajar
dalam kurikulum. Penambahan dimaksudkan adalah untuk memberikan waktu lebih
banyak kepada mahasiswa melakukan praktek musik di tengah kondisi keterbatasan
sarana dan prasarana seni di kampus. Selain itu, penambahan alokasi waktu
belajar juga dimaksudkan untuk menciptakan budaya berkesenian di kalangan
mahasiswa, sehingga pada saatnya nanti mereka dapat aktif, kreatif dan inovatif
dalam proses pembelajaran seni di sekolah.
2. Metode Pembelajaran
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber
daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep
kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar (learning) dan pembelajaran (intruction).
Konsep belajar berakar pada pihak mahasiswa dan konsep pembelajaran berakar
pada pihak pendidik. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi
antara mahasiswa dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok
orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik
adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah
kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu mahasiswa,
guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan
evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan perilaku dan tingkah laku yang
positif dari mahasiswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti :
perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati
melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya
hidupnya. Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang
menurut penulis penting adalah metode mengajar.
Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari
pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metode
mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena
keberhasilan proses pembelajaran bergantung pada cara mengajar gurunya. Jika
cara mengajar gurunya enak menurut mahasiswa, maka mahasiswa akan tekun, rajin,
antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi
perubahan tingkah laku pada mahasiswa baik tutur katanya, sopan santunnya,
motorik dan gaya hidupnya.
Arifin dalam Ardipal (2007) mendefinisikan bahwa mengajar adalah “Suatu
rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat
menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu”. Tyson
dan Caroll dalam Prayitno (2005) mengemukakan bahwa mengajar ialah a way working with students... A process of
interaction. The teacher does something to student, the students do something
in return. Dari definisi itu tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara
dan sebuah proses hubungan timbal balik antara mahasiswa dan pendidik yang
sama-sama aktif melakukan kegiatan. Nasution dalam Ardipal (2007) berpendapat
bahwa mengajar adalah “Suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses
belajar”. Tardif dalam Prayitno (2005) mendefinisikan, mengajar adalah any action performed by an individual (the
teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the
learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang
(dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain
(dalam hal ini mahasiswa) melakukan kegiatan belajar.
Biggs (1991), seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi
tiga macam pengertian yaitu : (1) pengertian kuantitatif dimana mengajar
diartikan sebagai the transmission of
knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu
menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada mahasiswa dengan
sebai-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya mahasiswa bukan tanggung jawab
pengajar; (2) pengertian institusional yaitu mengajar berarti the efficient orchestration of teaching
skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal
ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar
terhadap mahasiswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda
bakat, kemampuan dan kebutuhannya; (3) pengertian kualitatif dimana mengajar
diartikan sebagai the facilitation of
learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar mahasiswa mencari
makna dan pemahamannya sendiri.
Dari definisi-definisi mengajar para pakar di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas yang tersistem dari sebuah
lingkungan yang terdiri dari pendidik dan mahasiswa untuk saling berinteraksi dalam
melakukan suatu kegiatan sehingga terjadi proses belajar dan tujuan pengajaran
tercapai.
Metodologi mengajar
banyak ragamnya, seorang pendidik harus memiliki metode mengajar yang beraneka
ragam, sehingga dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu
metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar
mahasiswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan
pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai.
Istilah
pembelajaran merupakan padanan dari kata dalam bahasa Inggris instruction, yang berarti proses membuat orang belajar.
Tujuannya ialah membantu orang belajar, atau memanipulasi (merekayasa)
lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi orang yang belajar. Gagne dan Briggs
(1979) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu rangkaian events (kejadian, peristiwa, kondisi,
dan sebagainya) yang secara sengaja
dirancang untuk mempengaruhi mahasiswa (pembelajar), sehingga proses
belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Pembelajaran bukan hanya terbatas
pada kejadian yang dilakukan oleh guru saja, melainkan mencakup semua kejadian
maupun kegiatan yang mungkin mempunyai pengaruh langsung pada proses belajar
manusia.
Pendekatan pembelajaran pada pendidikan anak usia
dini dilakukan dengan berpedoman pada suatu program kegiatan yang telah disusun
sehingga seluruh perilaku dan kemampuan dasar yang ada pada anak dapat
dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Menurut Depdiknas (2002) pendekatan
pembelajaran pada anak usia dini hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip
sebagai berikut.
Pertama, pembelajaran berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak yaitu: (1)
anak belajar dengan baik apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan
aman dan tentram secara psikologis; (2) siklus belajar anak selalu berulang;
(3) anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak-anak
lainnya; (4) minat dan keingintahuan anak akan memotivasi belajarnya; (5)
perkembangan dan belajar anak harus memperhatikan perbedaan individu.
Kedua, berorientasi pada kebutuhan anak. Kegiatan pembelajaran pada anak
harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak
yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi
semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun psikis (intelektual,
bahasa, motorik, dan sosio-emosional). Dengan demikian berbagai jenis kegiatan
pembelajaran hendaknya dilakukan melalui analisis kebutuhan yang disesuaikan
dengan berbagai aspek perkembangan dan kemampuan pada masing-masing anak.
Ketiga, bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Bermain
merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak usia TK
dan RA. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan
dalam situasi yang menyenangkan dengan menggunakan strategi, metode,
materi/bahan dan media yang menarik serta mudah diikuti oleh anak. Melalui
bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek
yang dekat dengan anak, sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi anak.
Bermain bagi anak merupakan proses kreatif untuk bereksplorasi, dapat
mempelajari keterampilan yang baru dan dapat menggunakan simbol untuk
menggambarkan dunianya. Ketika bermain mereka membangun pengertian yang
berkaitan dengan pengalamannya. Pendidik mempunyai peran yang sangat penting
dalam pengembangan bermain anak.
Keempat, menggunakan pendekatan tematik. Kegiatan
pembelajaran hendaknya dirancang dengan menggunakan pendekatan tematik dan
beranjak dari tema yang menarik minat anak. Tema sebagai alat/sarana atau wadah
untuk mengenalkan berbagai konsep pada anak. Tema diberikan dengan tujuan: (1)
menyatukan isi kurikulum dalam satu kesatuan yang utuh; (2) memperkaya
perbendaharaan kata anak. Jika pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan tema,
maka pemilihan tema dalam kegiatan pembelajaran hendaknya dikembangkan dari
hal-hal yang paling dekat dengan anak, sederhana, serta menarik minat anak.
Penggunaan tema dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah
dan jelas.
Kelima, kreatif dan inovatif. Proses pembelajaran yang
kreatif dan inovatif dapat dilakukan oleh pendidik melalui kegiatan-kegiatan
yang menarik, membangkitkan rasa ingin tahu anak, memotivasi anak untuk
berfikir kritis dan menemukan hal-hal baru. Selain itu dalam pengelolaan
pembelajaran hendaknya dilakukan secara dinamis. Artinya anak tidak hanya
sebagai obyek tetapi juga sebagai subyek dalam proses pembelajaran.
Keenam, lingkungan kondusif. Lingkungan pembelajaran harus diciptakan
sedemikian menarik dan menyenangkan sehingga anak selalu betah dalam lingkungan
sekolah baik di dalam maupun di luar ruangan. Lingkungan fisik hendaknya
memperhatikan keamanan dan kenyamanan anak dalam bermain. Penataan ruang harus
disesuaikan dengan ruang gerak anak dalam bermain sehingga dalam interaksi baik
dengan pendidik maupun dengan temannya dapat dilakukan secara demokratis.
Selain itu, dalam pembelajaran hendaknya memberdayakan lingkungan sebagai
sumber belajar dengan memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan
kemampuan interpersonalnya sehingga anak merasa senang walaupun antar mereka
berbeda (perbedaan individual). Lingkungan hendaknya tidak memisahkan anak dari
nilai-nilai budayanya yaitu dengan tidak membedakan nilai-nilai yang dipelajari
di rumah dan di sekolah ataupun di lingkungan sekitar. Pendidik harus peka
terhadap karakteristik budaya masing-masing anak.
Ketujuh, mengembangkan kecakapan hidup. Proses pembelajaran harus diarahkan
untuk mengembangkan kecakapan hidup. Pengembangan konsep kecakapan hidup
didasarkan atas pembiasaan-pembiasaan yang memiliki tujuan untuk mengembangkan
kemampuan menolong diri sendiri, disiplin dan sosialisasi serta memperoleh
keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan hidupnya.
Menurut Tresna (2007: 11), ”paradigma baru pendidikan
tinggi seni lebih menekankan kurikulum yang berbasis kompetensi (competences-based
curriculum) meskipun basis kurikulum tidak sepenuhnya ditinggalkan”.
Paradigma ini menekankan bahwa penguasaan kompetensi menjadi hal yang paling
utama dalam proses pendidikan seni di perguruan tinggi. Penguasaan kompetensi
dalam pembelajaran seni diarahkan pada kemampuan praktik. Penguasaan praktik
yang mantap, akan sejalan dengan penguasaan teori. Berdasarkan paradigma ini,
maka metode yang tepat dalam pembelajaran seni di perguruan tinggi seperti
PG-PAUD FIP UNP adalah metode demonstrasi dan metode praktek.
Demonstrasi
adalah metode yang digunakan untuk membelajarkan peserta dengan cara
menceritakan dan memperagakan suatu langkah-langkah pengerjaan sesuatu
(Depdiknas, 2004). Demonstrasi merupakan praktek yang diperagakan kepada
peserta. Di dalam prosesnya, metode demonstrasi dapat dibedakan berdasarkan
tujuannya menjadi: demonstrasi proses
untuk memahami langkah demi langkah; dan demonstrasi
hasil untuk memperlihatkan atau memperagakan hasil dari sebuah proses.
Biasanya, setelah demonstrasi dilanjutkan dengan praktek oleh peserta sendiri.
Sebagai hasil, peserta akan memperoleh pengalaman belajar langsung setelah
melihat, melakukan, dan merasakan sendiri. Tujuan dari demonstrasi yang
dikombinasikan dengan praktek adalah membuat perubahan pada ranah keterampilan.
Metode praktik
bertujuan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan peserta dalam
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya. Kegiatan ini
dilakukan di “lapangan”, yang bisa berarti di kelas, di tempat kerja, maupun di
masyarakat. Keunggulan dari metode ini
adalah pengalaman nyata yang diperoleh bisa langsung dirasakan oleh
peserta, sehingga dapat memicu kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan
kemampuannya. Sifat metode praktek adalah pengembangan keterampilan.
3. Media Pembelajaran
Pengunaan media dalam pelaksanaan proses pembelajaran bermanfaat
diantaranya; menjadikan pelaksanaan proses pembelajaran menjadi lebih lebih
menarik dan lebih interaktif karena pengunaan media dapat meningkatkan rasa
ingin tahu, sikap positif dan motivasi belajar mahasiswa. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kecintaan mahasiswa
pada ilmu dan proses pencarian ilmu. Disamping itu media juga dapat mengatasi
keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses komunikasi.
Dengan proses komunikasi, pesan atau informasi dapat dihayati oleh orang lain.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian terhadap materi pembelajaran maka
dalam proses komunikasi perlu digunakan sarana yang dapat membantu mahasiswa,
yaitu pemanfaatan media pembelajaran.
Banyak manfaat
yang dapat diambil dari pengunaan media pembelajaran. Ada beberapa definisi,
diantaranya AECT (Association for Education and Communicatian Technology)
(1976) memaknai media sebagai segala bentuk yang dimanfaatkan dalam proses
penyaluran informasi. NEA (National Education Association) memaknai
media sebagai segala benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca,
atau dibincangkan beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut.
Gagne (1977) menempatkan media sebagai komponen sumber, mendefinisikan media
sebagai “komponen sumber belajar di lingkungan mahasiswa yang dapat
merangsangnya untuk belajar”.
Briggs dalam
Gagne (1979) berpendapat bahwa media harus didukung oleh sesuatu untuk
mengkomunikasikan materi (pesan kurikuler) supaya terjadi proses belajar.
Wilbur Schramm dalam Ardipal (2008) mencermati pemanfaatan media sebagai suatu
teknik untuk menyampaikan pesan, dimana ia mendefinisikan media sebagai
teknologi pembawa informasi/pesan instruksional. Yusuf Hadi Miarso dalam
Ardipal (2008) memandang media secara luas/makro dalam sistem pendidikan
sehingga mendefinisikan media adalah segala sesuatu yang dapat merangsang
terjadinya proses belajar pada diri mahasiswa.
Banyak orang
membedakan pengertian media dan alat peraga. Namun tidak sedikit yang
menggunakan kedua istilah itu secara bergantian untuk menunjuk alat atau benda
yang sama (interchangeable). Perbedaan media dengan alat peraga terletak
pada fungsinya dan bukan pada substansinya. Suatu sumber belajar disebut alat
peraga bila hanya berfungsi sebagai alat bantu pembelajaran saja; dan sumber
belajar disebut media bila merupakan bagian integral dari seluruh proses atau
kegiatan pembelajaran dan ada semacam pembagian tanggung jawab antara staf
pengajar di satu sisi dan sumber lain (media) di sisi lain.
Media dalam arti
yang terbatas, yaitu sebagai alat bantu pembelajaran. Hal ini berarti media
sebagai alat bantu yang digunakan staf pengajar, antara lain untuk: memotivasi
belajar mahasiswa, memperjelas informasi/pesan pengajaran, memberi tekanan pada
bagian-bagian yang penting, memberi variasi pengajaran, dan memperjelas
struktur pengajaran. Di sini media memiliki fungsi yang jelas yaitu
memperjelas, memudahkan dan membuat menarik pesan kurikulum yang akan
disampaikan kepada mahasiswa sehingga dapat memotivasi belajarnya dan
mengefisienkan proses belajar. Menurut Ardipal (2008), hasil penelitian menunjukkan
bahwa kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan mudah bila dibantu
dengan sarana visual, di mana 11% dari yang dipelajari terjadi lewat indera
pendengaran, sedangkan 83% lewat indera penglihatan. Di samping itu dikemukakan
bahwa manusia hanya dapat mengingat 20% dari apa yang didengar, namun dapat
mengingat 50% dari apa yang dilihat dan didengar.
Kemampuan media sebagai alat bantu kegiatan pembelajaran
berangkat dari teori belajar diketahui bahwa hakekat belajar adalah interaksi
antara mahasiswa yang belajar dengan sumber-sumber belajar disekitarnya yang
memungkinkan terjadinya perubahan perilaku belajar dari tidak tahu menjadi
tahu, tidak bisa menjadi bisa, tidak jelas menjadi jelas, dan sebagainya. Sumber belajar tersebut dapat
berupa pesan, bahan, alat, orang, teknik dan lingkungan. Proses belajar
tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal
seperti sikap, pandangan hidup, perasaan senang dan tidak senang, kebiasaan dan
pengalaman pada diri mahasiswa. Bila mahasiswa apatis, tidak senang, atau
menganggap buang waktu maka sulit untuk mengalami proses belajar. Faktor
eksternal merupakan rangsangan dari luar diri mahasiswa melalui indera yang
dimilikinya, terutama pendengaran dan penglihatan.
C. PENUTUP
Pendidikan seni
memegang peran vital dalam pembelajaran anak usia dini. Aktivitas bermain,
sebagai salah satu pendekatan pengajaran paling efektif. Aktivitas ini dapat
optimal apabila tenaga pendidik dapat mengkombinasikannya dengan seni. Tidak
jarang ditemukan seorang guru menjelaskan nama-nama buah kepada anak didiknya
melalui gambar dan disampaikan dengan irama-irama tertentu sehingga membentuk
nyanyian. Pendekatan ini terbukti efektif.
Untuk dapat
mengoptimalkan penerapan pendidikan seni di taman kanak-kanak dan sekolah,
seorang calon guru haruslah dibekali dengan kompetensi-kompetensi yang relevan.
Seorang calon guru harus memiliki kemampuan untuk mendemonstrasikan dan
mempraktekkan seni, sehingga pada saatnya terjun ke masyarakat pendidikan
nantinya telah mempunyai bekal yang memadai sebagai seorang pendidik. Untuk
itu, diperlukan revitalisasi kurikulum, metode pembelajaran yang tepat, dan
media yang memadai sehingga kualitas proses pembelajaran seni di perguruan
tinggi dapat ditingkatkan.
D. DAFTAR KEPUSTAKAAN
AECT. 1976. Training and Development Handbook: A quide to Human
Resource Development. New York: Mc Graw Hill.
Ardipal. 2007. ”Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Pendidikan Seni”. Makalah. Forum Eks.
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni se-Indonesia IX. Makassar, 13 – 15 Juli
2007.
Ardipal. 2008. ”Multimedia dalam Pembelajaran”. Makalah. Pelatihan Guru Kesenian
MI/MTs/MA dilingkungan Departemen Agama Provinsi Sumatera Barat. Padang, 20 –
30 Mei 2008.
Biggs,
John B. 1991. “Student Learning in Context of School”, in John Biggs (ed). Teahing for Learning: The Views from
Cognitive Psychology. Howthorn (Victoria): Acer.
Biggs,
John B. 1991. “Good Learning, What is It ? How Can be Fostred ?”, in John Biggs
(ed). Teahing for Learning: The Views
from Cognitive Psychology. Howthorn (Victoria): Acer.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pedoman Pembelajaran Tuntas (Mastery
Learning). Jakarta : Pengarang.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kumpulan Metode Pembelajaran/Pendampingan.
Jakarta : Pengarang.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Fokusmedia.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar Pendidikan Anak
Usia Dini. Jakarta : Pengarang.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta :
Pengarang.
Gagne, Robert M. 1977. The
Conditions of Learning. Third Edition. New York: Holt Reinhart.
Gagne, Robert M. dan Leslie J.
Briggs. 1979. Principles of instructional
design. New York: Rinehart and Winston.
Gunara, Sandie. 2007. Pendidikan Musik! ...
Pentingkah?. http://Artikel
Pendidikan Network- pendidikan musik!___pentingkah.htm. Diakses 10 Oktober
2008.
Kamtini dan Husni Wardi Tanjung. 2005. Bermain melalui Gerak dan Lagu di Taman
Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.
Kunaefi, Tresna Dermawan, dkk.
2007. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni
Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Prayitno.
2005. Hubungan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.