A.
Pendahuan
Kesadaran bahwa belajar adalah proses menjadi dirinya
sendiri (process of becoming person) bukan proses untuk dibentuk (process
of beings haped) menurut kehendak orang lain, membawa kesadaran yang lain
bahwa kegiatan belajar harus melibatkan individu atau client dalam
proses pemikiran: apa yang mereka inginkan, apa yang dilakukan, menentukan dan
merencanakan serta melakukan tindakan apa saja yang perlu untuk memenuhi
keinginan tersebut. Inti dari pendidikan adalah menolong orang belajar
bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka
sendiri untuk berkembang dan matang, dengan mempertimbangkan bahwa mereka juga
sebagai makhluk sosial.
Di tahun 70 an dikenal sebuah proyek yang disebut dengan
PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan). Pada waktu itu, siswa dibebaskan menentukan
seberapa cepat dia bisa menyelesaikan masa studinya. Siswa diberi Lembaran
Kegiatan Siswa (LKS) yang berisikan tentang teori-teori materi yang dipelajari,
dan kalau siswa beranggapan sudah menguasai, maka diberi lembar latihan dari
LKS tadi dan kalau sudah merasa siap, maka siswa bisa mengambil sendiri Lembar
Test Formatif. Fungsi Guru pada waktu itu adalah menjelaskan apabila bertanya
dan menilai hasil test formatif tersebut. Di PPSP ini, murid kelas 1 SMP (waktu
itu disebut kelas 6), itu bisa saja menempuh pelajaran kelas 2 SMP (kelas 7)
maupun menempuh kelas 8 (3 SMP), sehingga pada waktu itu, cukup banyak yang
mampu menempuh level SMP hanya dalam waktu 2 tahun. PPSP mencanangkan program
SD hanya 5 tahun, SMP bisa ditempuh 2 tahun dan SMA juga bisa ditempuh 2 tahun
juga, tergantung kepada kemampuan dari siswa.
Kegiatan belajar yang melibatkan individu atau client
dalam proses menentukan apa yang mereka inginkan, apa yang akan dilakukan,
adalah beberapa prinsip dari teori belajar Andragogi. Teori belajar Andragogi
sering juga disebut dengan teori belajar orang dewasa. Makalah ini akan
membahas tentang Teori Belajar Andragogi tersebut dan membahas kelemahan serta
keunggulannya.
B.
Teori Belajar Andragogi
1.
Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani
kuno: "aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan
agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering
dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik
dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya
membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi"
berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.
Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar
anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau
pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang
bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang
ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan
dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang
berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan
pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik
pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang
dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya
sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar
adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri
dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner
Centered Training/Teaching).
2.
Perkembangan Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul
"The Adult Learner, A Neglected Species" yang
diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang
dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan
oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang
digunakan dalam kegiatan belajat adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan
murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan
yang sudah di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh
gurunya/pengajarnya. Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode
panyampaiannya, dan lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung
kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia
(dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta,
memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak
bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya
sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang
sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang
biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah
perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di dalam
menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka
rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang.
Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal
melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah
dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal
istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari
konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme
pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme
pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara
menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara
efektif. Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap
bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan
politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan
kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri
semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun
tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir
yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk
memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah
secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme
pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral,
sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial
konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan
pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis
obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat
Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian
fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui pengamatan atas kenyataan.
Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan eksperimental
yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah). Tetapi berbeda
dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus
meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap
perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas
lembaga. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan
adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik
berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan
sistem persekolahan sekalian.
3.
Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar
Andragogi
Malcolm Knowles (1970) dalam
mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai
berikut:
a. Konsep Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang
bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah
pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih
tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena
kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain
sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination),
mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa
tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya
penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan
atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan
psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi
tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b. Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu
seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam
perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman
pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai
sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu
tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman
baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa,
terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam
pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu
pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning
Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan
implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan.
Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah
pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain
sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau
partisipasi peserta pelatihan.
c. Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang
sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh
kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan
sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau
biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan
perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja,
orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi
pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi
pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan
sosialnya.
d. Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya
seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang
berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation).
Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar
yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered
Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah
merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang
dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya
perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk
dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak,
penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan
sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar
untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini
menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi
orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat
segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
4.
Andragogi dan Psikologi Perkembangan
Seperti telah disebutkan di atas
bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep
dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan
diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri.
Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki
kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan
psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir
dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir
formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat
memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat
memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah
tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai
mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy)
yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan
anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti
keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu
di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan
membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan
nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan
kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai
mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa
pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya
sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai
yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak
pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan
"pengertian diri" (sense of identity).
Pembelajaran yang diberikan kepada
orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana
pembimbing (pelatih, pengajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak
terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun
mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan alternatif-alternatif
untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus
berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian
menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada
hakikatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu
menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini,
diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran
tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila
mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila
mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka
merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang
dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan
lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide
pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri
kepada mereka.
Oleh karena sifat belajar bagi orang
dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau
salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya
perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri
mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian,
pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari
pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada
dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang
kondusif tak akan pernah terwujud.
Orang dewasa memiliki sistem nilai
yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya
suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya
tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang
dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang
bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa
dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll).
Keterbukaan seorang pembimbing
sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi
pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk
mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik
bagi kesehatan psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus dihindari
segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau
dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam
segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan
dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat
dinafikkan bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat
kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai
hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama
dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama
dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan
hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan
tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan,
dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang
berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya
suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka
mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru
dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang
baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan
itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada akhirnya, orang dewasa ingin
tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada
kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian,
diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya
berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya
dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.
5.
Pengaruh Penurunan Faktor Fisik
dalam Belajar
Proses belajar manusia berlangsung
hingga ahkir hayat (long life education). Namun, ada korelasi negatif antara
pertambahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap
individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya
belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya
ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan
lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya pula.
Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak diperoleh
dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang seimbang
dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan. Menurut Verner dan
Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis dapat
menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:
a. Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglihatan
atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai bergerak makin jauh.
Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak
10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh tahun titik dekat penglihatan itu
sudah menjauh sampai 23 cm.
b. Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik
terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek.
Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan pengunaan bahan dan
alat pendidikan.
c. Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan
yang diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia
20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya, maka pada usia 40 tahun diperlukan 145
Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat
dengan jelas.
d. Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke
arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau
lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang
dapat dibedakannya warna-warna-warna lembut. Untuk jelasnya perlu digunakan
warna-warna cerah yang kontras utuk alat-alat peraga.
e. Pendengaran atau kemampuan menerima suara mengurang dengan
bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran dalam
kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam hidupnya.
Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita. Hanya 11
persen dari orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran. Sampai 51
persen dari orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran.
f. Pembedaan bunyi atau kemampuan untuk
membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian,
bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan bunyi
sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang.
Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.
6. Langkah-Langkah Pokok dalam Andragogi
Langkah-langkah pokok untuk
mempraktikkan Andragogi adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif: Ada beberapa
hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim
dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
1) Pengaturan Lingkungan Fisik: Pengaturan lingkungan fisik
merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman
dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
a) Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi
orang dewasa;
b) Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya
disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa;
c) Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan
lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi social.
2) Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologi: Iklim psikologis hendaknya merupakan
salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan
didukung.
a)
Fasilitator lebih bersifat membantu
dan mendukung;
b) Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai
melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai;
c) Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk
menyatakan pendapat tanpa rasa takut;
d)
Mengembangkan semangat kebersamaan;
e)
Menghindari adanya pengarahan dari
"pejabat-pejabat" pemerintah;
f)
Menyusun kontrak belajar yang
disepakati bersama.
3) Diagnosis Kebutuhan Belajar: Dalam andragogi tekanan lebih banyak
diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta pelatihan di
dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a) Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder)
terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu;
b) Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau
prestasi ideal yang diharapkan;
c) Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan;
d) Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan
yang ada, misalkan kompetensi tertentu.
4) Proses Perencanaan: Dalam perencanaan pelatihan hendaknya
melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas
kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak
tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa
'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta
dalam pengambilan keputusan:
a) Libatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang
menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain;
b) Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak
terkait menyangkut pelatihan tersebut;
c) Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke
dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan;
d) Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di
antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
5) Memformulasikan Tujuan: Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan
permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati
bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan
hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
6) Mengembangkan Model Umum: Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan
pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar
seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain
sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam
membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
7) Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran: Dalam menetapkan materi dan metoda
atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada
pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan;
b) Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan
berorientasi pada aplikasi praktis;
c) Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik
yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta;
d) Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu
arah namun lebih bersifat partisipatif.
8) Peranan Evaluasi Pendekatan: evaluasi secara konvensional (pedagogi)
kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini
tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada
beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa
yakni:
a) Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan
perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran/pelatihan;
b) Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap
dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation);
c) Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur
keberhasilan;
d) Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama
secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak
terkait yang terlibat;
e) Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan
program;
f) Menilai efektifitas materi yang
dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.
C.
Perbandingan
Asumsi dan Model Pedagogi dan Andragogi
Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan
beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi
(konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konvensional, karena berpusat pada
materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi
yang timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator
sangat dominan. Pihak murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif
dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank"
(Banking System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
Penentuan mengenai materi
pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan
kaku;
Penentuan dan pemilihan prosedur dan
mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk
menyampaikan materi pembelajaran;
Pengembangan rencana dan bentuk
urutan (sequence) yang standard dan kaku ;
Adanya standard evaluasi yang baku
untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang
bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan;
Adanya batasan waktu yang demikian
ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi
pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang
sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur
untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang
kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang
melibatkan elemen-elemen:
Menciptakan iklim dan suasana yang
mendukung proses belajar mandiri;
Menciptakan mekanisme dan prosedur
untuk perencanaan bersama dan partisipatif;
Diagnosis kebutuhan-kebutuhan
belajar yang spesifik Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhan belajar
Merencanakan pola pengalaman belajar
Melakukan dan menggunakan pengalaman
belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
Mengevaluasi hasil belajar dan
mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah model proses.
Lebih detail tentang perbedaan
pedagogik dan andargogi sebagai berikut:
No
|
Asumsi
|
Pedagogik
|
Andragogi
|
1
|
Kosep
tentang diri peserta didik
|
Peserta
didik digambarkan sebagai seseorang yang bersifat tergantung. Masyarakat
mengharapkan para guru bertanggung jawab sepenuhnya untuk menentukan apa
yang harus dipelajari, kapan, bagaimana cara mempelajarinya, dan apa
hasil yang diharapkan setelah selesai
|
Adalah
suatu hal yang wajar apabila dalam suatu proses pendewasaan, seseorang akan
berubah dari bersifat tergantung menuju ke arah memiliki kemampuan
mengarahkan diri sendiri, namun setiap individu memiliki irama yang
berbeda-beda dan juga dalam dimensi kehidupan yang berbeda-beda pula. Dan
para guru bertanggungjawab untuk menggalakkan dan memelihara kelangsungan
perubahan tersebut. Pada umumnya orang dewasa secara psikologis lebih
memerlukan penga- rahan diri, walaupun dalam keadaan tertentu mereka bersifat
tergantung.
|
2
|
Fungsi
Pengalaman peserta didik
|
Di sini
pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik tidak besar nilainya, mungkin
hanya berguna untuk titik awal. Sedangkan penglaman yang sangat besar
manfaatnya adalah pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari gurunya, para
penulis, produsen alat-alat peraga atau alat-alat audio visual dan pengalaman
para ahli lainnya. Oleh karenanya, teknik utama dalam pendidikan adalah
teknik penyampaian yang berupa: ceramah, tugas baca, dan penyajian melalui
alat pandang dengar.
|
Di sini
ada anggapan bahwa dalam perkembangannya seseorang membuat semacam alat
penampungan (reservoair) pengalaman yang kemudian akan merupakan
sumber belajar yang sangat bermanfaat bagi diri sendiri mau pun bagi orang
lain. Lagi pula seseorang akan menangkap arti dengan lebih baik tentang apa
yang dialami daripada apabila mereka memperoleh secara pasif, oleh karena itu
teknik penyampaian yang utama adalah eksperimen, percobaan-percobaan di
laboratorium, diskusi, pemecahan masalah, latihan simulasi, dan praktek
lapangan.
|
3
|
Kesiapan
belajar
|
Seseorang
harus siap mempelajari apapun yang dikatakan oleh masyarakat, dan hal ini
menimbulkan tekanan yang cukup besar bagi mereka karena adanya perasaan takut
gagal, anak-anak yang sebaya diaggap siap untuk mempelajari hal yang sama
pula, oleh karena itu kegiatan belajar harus diorganisasikan dalam suatu
kurikulum yang baku, dan langkah-langkah penyajian harus sama bagi semua
orang.
|
Seseorang
akan siap mempelajari sesuatu apabila ia merasakan perlunya melakukan hal
tersebut, karena dengan mempelajari sesuatu itu ia dapat memecahkan
masalahnya atau dapat menyelesaikan tugasnya sehari-hari dengan baik. Fungsi
pendidik di sini adalah menciptakan kondisi, menyiapkan alat serta prosedur
untuk membantu mereka menemukan apa yang perlu mereka ketahui. Dengan
demikian program belajar harus disusun sesuai dengan kebutuhan kehidupan
mereka yang sebenarnya dan urutan-urutan penyajian harus disesuaikan dengan
kesiapan peserta didik.
|
4
|
Orientasi
belajar
|
Peserta
didik menyadari bahwa pendidikan adalah suatu proses penyampaian ilmu
pengetahuan, dan mereka memahami bahwa ilmu-ilmu tersebut baru akan
bermanfaat di kemudian hari. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun sesuai
dengan unit-unit mata pelajaran dan mengikuti urutan-urutan logis ilmu
tersebut , misalnya dari kuno ke modern atau dari yang mudah ke sulit. Dengan
demikian, orientasi belajar ke arah mata pelajaran. Artinya jadwal disusun
berdasarkan keterselesaian nya mata-mata pelajaran yang telah ditetapkan.
|
Peserta
didik menyadari bahwa pendidikan merupakan suatu proses peningkatan
pengembangan kemampuan diri untuk mengembangkan potensi yang maksimal dalam
hidupnya. Mereka ingin mampu menerapkan ilmu dan keterampilan yang
diperolehnya hari ini untuk mencapai kehidupan yang lebih baik atau lebih
efektif untuk hari esok. Berdasarkan hal tersebut di atas, belajar harus
disusun ke arah pengelompokan pengembangan kemampuan. Dengan demikian
orientasi belajar terpusat kepada kegiatannya. Dengan kata lain, cara
menyusun pelajaran berdasarkan kemampuan-kemampuan apa atau penampilan yang
bagaimana yang diharap kan ada pada peserta didik.
|
Sumber: Tamat (1985: hal. 20-22)
D.
Keunggulan dan Kelemahan Teori
Belajar Andragogi
Kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah ataupun luar
sekolah memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang
dewasa terutama pendidikan masyarakat bersifat non formal sebagian besar dari
siswa atau pesertanya adalah orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau
remaja. Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri.
Dengan menggunakan teori andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang
dewasa dalam kerangka pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita
pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau
penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Andragogy memiliki kelemahan, salah satunya adalah bahwa
bagaimana mungkin seorang siswa yang tidak terlalu memahami tentang luasnya
ilmu kemudian dibebaskan memilih apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy
hanya sebagai suatu sistem yang mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk
tujuan apa sebenarnya sebuah pendidikan itu dilakukan? Dan bagaimana pula bisa
dilakukan -penjagaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada? jika sebuah ilmu
tersebut tidak diminati oleh siswa, tentu saja satu waktu ilmu tersebut akan
hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan memilih jika ada persyaratan kemampuan
yang memang mesti dimiliki seandainya siswa mau belajar ilmu tertentu. Tak
mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata pelaharan Integral Diferensial
sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah, kurang bagi, dll.
E.
Kesimpulan
Teori Belajar Adragogi dapat diterapkan apabila diyakini bahwa peserta didik
(siswa-mahasiswa-peserta) adalah pribadi-pribadi yang matang, dapat mengarahkan
diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk
sesuatu yang menyangkut dirinya. Andragogi tidak
akan mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang dewasa sebagai
pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Yang menjadi tolok ukur sebuah
kedewasaan bukanlah umur, namun sikap dan perilaku, sebab tidak jarang orang
yang sudah berumur, namun belum dewasa. Memang, menjadi tua adalah suatu
keharusan dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan yang tidak setiap individu
memilihnya seiring dengan semakin lanjut usianya.
F.
Daftar Bacaan
Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa.
Asmin, Konsep dan Metode
Pembelajaran Untuk Orang Dewasa (Andragogi), http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/34/konsep_dan_metode_pembelajaran.htm, Diakses tanggal 11 November 2006.
Knowles, Malcolm S. (1970). "The
modern practicsof adult education, andragogy versus ". New York :
Association Press.
Lunandi, A, G. (1987). Pendidikan
orang dewasa. Jakarta: Gramedia.
Piaget, J. (1959). "The
growth of logical thinking from childood fo adolescence. New York : Basic
Books.
M. Thoyib. (2006). Memfasilitasi Pelatihan
Partisipatif (Pengantar Pendidikan Orang Dewasa), http://depsos.go.id/modules.php?name=News&file
=print&sid=209,
diakses tanggal 11 November 2006.
Tamat, Tisnowati. (1984). Dari
Pedagogik ke Andragogik. Jakarta: Pustaka Dian.
[1] Disusun oleh Bambang S
dan Lukman (Mahasiswa Teknologi Pembelajaran PPs Universitas Negeri Yogyakarta)
0 komentar:
Posting Komentar