By. Bayu Pradikto[1]
A. Pengertian
Gender
Menurut Deaux dalam (Stevenson, 1994)[2]
istilah “gender” mengacu pada kondisi psikologis atau kategori sosial yang
diasosiasikan dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga disampaikan
oleh Lips dalam (Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah aspek non
fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas. Smith
dalam Puspitawati (2012:2)[3] menyatakan
bahwa, “Gender should be conseptualized
as a set of relations, exixting in social institutions and reproduced in
interpersonal interaction” (gender diartikan sebagai suatu set hubungan
yang nyata di institusi sosial dan dihasilkan kembali dari interaksi antar
personal). Sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (2007)
mendefinisikan gender merupakan perbedaan peran, fungsi dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Dari
beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gender memang terkait
dengan sex, namun gender tidak sama dengan sex. Jika sex hanya sebatas
fisiologi, maka gender lebih dari itu, melibatkan psikologi, culture, waktu dan
lainnya. Secara umum, gender adalah sebuah konstruksi sosial yang bersifat
relatif sesuai dengan masyarakat dan waktu tertentu, memiliki sistem kebudayaan
tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain dan waktu yang lain pula.
B. Pengertian
dan Jalur Pendidikan
Pendidikan
adalah pengaruh yang dilaksanakan oleh orang dewasa atas generasi yang belum
matang untuk penghidupan sosial (Emile Durkheim dalam Hufad, 2012:4). Ki Hajar
Dewantara mengartikan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan
budi pekerti, fikiran, dan tubuh anak, dalam pengertian tidak boleh
dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan
alamnya dan masyarakatnya. Definisi pendidikan juga tertuang dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pedidikan Nasional, bahwa Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dari
definisi diatas, dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan ialah usaha yang
dilakukan dalam bentuk bimbingan yang diberikan kepada anak dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya untuk mencapai tingkat kedewasaan dan bertjuan
untuk menambah ilmu pengetahuan, membentuk karakter diri, dan mengarahkan anak
untuk menjadi pribadi yang lebih baik, atau sebagai usaha sadar yang bertujuan
untuk menyiapkan peserta didik dalam belajar melalui suatu kegiatan pengajaran,
bimbingan dan latihan demi peranannya dimasa yang akan datang.
Berdasarkan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan di Indonesia, jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal. Coombs dalam Sudjana
(2004:22)[4]
mendefinisikan ketiga jalur pendidikan tersebut : (1) Pendidikan formal adalah
kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari
sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setara dengannya;
termasuk kedalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis umum,
program spesialisasi, dan latihan profesional, yang dilaksanakan dalam waktu
yang terus menerus. (2) Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung
sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh
lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan
dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan
media masa. (3) Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan
sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri
atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja
dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan
belajarnya.
C. Manifestasi
Diskriminasi Gender
Dalam beberapa
kesempatan, seringkali terjadi kerancuhan antara konsep perbedaan gender dengan
konsep jenis kelamin yang terjadi di tengah-tengah pemahaman masyarakat. Jika
kita berbicara masalah perbedaan jenis kelamin, maka hal tersebut merupakan hak
Yang Kuasa dalam menentukan tiap-tiap individu yang dilahirkan dengan jenis
kelamin tertentu. Namun hal ini berbeda dengan “perbedaan” gender, yang mana
terjadi melalui sebuah proses panjang
yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) melalui pencitraan, pemberian peran,
cara memperlakukan dan penghargaan terhadap keduanya. Oleh sebab konstruksi sosial merupakan bentukan masyarakat, maka sifatnya
dapat berubah dan diubah sesuai dengan perubahan sosial, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, terjadi musibah, bencana alam, termasuk perubahan
kebijakan dan pemahaman agama maupun adaptasi dengan budaya yang tidak bias
gender.
Secara sadar atau tidak sadar,
pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam
konteks sosial kadangkala menjadi penyebab munculnya deskriminasi gender, yaitu
salah satu jenis kelamin terabaikan hak dasarnya, tertinggal dan mengalami
masalah ketidakadilan.
Berikut manifestasi dari
diskriminasi gender dalam berbagai bentuk (Wawan dan Muzayyanah, 2008:17)[5]
:
- Pelabelan (Stereotype) adalah pelabelan terhadap jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang berkonotasi positif atau negatif. Contoh bentuk pelabelan lemah, penakut, cengeng, dan sebagainya yang biasa melekat pada perempuan, sedangkan anak laki-laki yang diberi label kuat, pemberani, tabah.
- Penomorduaan (Subordination) adalah perlakuan menomorduakan yang mengakibatkan seseorang menempati posisi yang lebih rendah dibandingkan orang lain, sehingga tidak mendapatkan prioritas.
- Pemiskinan (Marginalization) adalah menempatkan seseorang karena jenis kelaminnya sebagai pihak yang tidak dianggap penting dalam faktor ekonomi, sekalipun perannya sangat krusial. Contohnya : perempuan dianggap bukan seorang tulang punggung keluarga sehingga mendapat pendapatan yang lebih rendah, serta melakukan pekerjaan yang hanya bersifat teknis dan rutinitas saja.
- Kekerasan (Violence) adalah segala bentuk perbuatan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada pihak lain, baik dalam bentuk fisik maupun psikis.
- Beban ganda (Double Burden) adalah sebuah situasi yang menyebabkan seseorang harus menanggung beban kerja berlipat. Contohnya : wanita karier, dimana tidak saja mengurusi pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, namun juga berperan ganda memikirkan pekerjaan karirnya.
D.
Probelematika Gender dalam Pendidikan
Berbagai bentuk kesenjangan gender
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terpresentasikan juga dalam bidang
pendidikan. Sebagian masyarakat di Indonesia masih menganut pemahaman agama
yang bersifat parsial sehingga menyebabkan ketidakadilan dalam memperlakukan
manusia menurut gendernya.
Hal ini didukung oleh Meutia Hatta[6]
bahwa kuatnya budaya patriarki menyebabkan pemikiran bahwa adalah kesiasiaan
menyekolahkan anak perempuan ke jenjang yang lebih tinggi. Beliau menuturkan bahwa,
“setinggi-tinggi perempuan bersekolah,
akhirnya masuk dapur juga”. Pemikiran seperti ini tentu merupakan pemikiran
yang sangat picik di era yang sudah semakin berkembang di masa ini. Paham
inilah yang akan menjadikan bangsa kita jalan ditempat atau yang lebih buruk
adalah semakin terpuruk ke dalam ketertinggal.
Prof. Dr. Arief Rahman, M.Pd (Ketua harian
Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO) menyebutkan lima faktor yang
menyebabkan terhambatnya kaum perempuan untuk melanjutkan pendidikan[7] :
- Kultur yang menomorduakan perempuan. Arief menyatakan, perempuan Indonesia memiliki semangat tinggi untuk meraih pendidikan tinggi, namun sebagian dari kaum perempuan masih sangat menjunjung tinggi kultur patriarki. Kultur inilah, yang membuat perempuan dinomor duakan untuk memasuki akses pendidikan.
- Sistem struktur sekolah kurang memberikan kesempatan bagi perempuan. Momok tentang pendapat masyarakat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
- Lemahnya kesetaraan gender. Istilah kesetaraa gender ternyata belum didukung oleh kebijakan-kebijakan yang tercantum pada kelembagaan negara. Lemahnya kesetaraan gender ini merupakan resolusi politik yang menopang dan mengusung ke-equal-an gender yang termaktub dalam kebijakan kelembagaan negara. “Peraturan di daerah misalnya, masih banyak yang belum mengusung kesetaraan dan keadilan gender dari segi gaji perempuan dan lelaki. Cuti kepada lelaki saat istri melahirkan juga belum diusung dalam peraturan daerah, padahal peran ayah dibutuhkan pada masa melahirkan.
- Manajemen rumah tangga belum seimbang, perempuan lebih mengalah. Perempuan cenderung bersifat mengalah demi mengurus anak serta keluarga. Akhirnya, keinginan untuk meraih gelar S2 atau S3, misalnya, tertunda atau bahkan dibatalkan demi peran sebagai ibu. Arif menegaskan, dengan adanya manajemen rumah tangga yang lebih baik, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Baik dalam mengurus rumah tangga maupun dalam mengembangkan diri.
- Kesepakatan pasangan yang melemahkan perempuan. Saat masih berpasangan, pada kasus tertentu. Masih terdapat perempuan yang terbatasi untuk mengembangkan diri. Misalnya, pria akan menikahinya, dengan memberi syarat ia harus mengurus rumah tangga saja. Kesepakatan pasangan yang dibuat sebelum menikah, bahkan menjadi syarat menikah, lantas membuat perempuan terbatasi geraknya. Masalah semacam ini tidak lantas terjadi pada setiap orang, dan sifatnya berbeda setiap kasus. Prinsipnya, ada kesepakatan tertentu yang dibuat untuk perempuan yang kemudian membatasi ruang gerak dan kemandiriannya untuk berkembang. “Persoalan kesetaraan gender perlu diatasi tidak hanya dari sisi kultural, namun juga perlu ada kebijakan yang tertuang dalam struktur”.
Selain
berbagai faktor penghambat pendidikan yang berasal dari masyarakat, proses dan
institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan
nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan
gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam
pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain[8]:
- Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal partisipasi pendidikan, perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah. Di negara-negara dunia ketiga dimana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki.
- Kurangnya keterwakilan (under-representation). Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan drastis.
- Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment). Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah “self fulfilling prophecy” terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi.
- Dimensi akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya tanpa memilki otoritas untuk memutuskan terhadap produk/hasil maupun metode pendayagunaan sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya antara lain: kurang tersedianya sekolah menengah di setiap kecamatan, jarak yang jauh dari tempat tinggal, beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat banyak anak-anak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
- Dimensi proses pembelajaran adalah materi pendidikan seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatasnamakan laki-laki. Dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti camat dan direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender, yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci. Faktor penyebabnya stereotype gender.
- Dimensi penguasaan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memajukan peranannya dalam masyarakat. Faktor penyebabnya pemanfaatan yang minim, peran yang tidak terserap oleh masyarakat dan masih berpegang pada nilai-nilai lama yang tidak terreformasi. Contohnya saja buta huruf yang didominasi oleh kaum perempuan.
- Dimensi kontrol adalah kemampuan atau otoritas untuk memutuskan menggunakan produk atau hasil, bahkan juga untuk menentukan metode pendayagunaannya, sehingga memiliki kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya tidak memiliki otoritas atau kemampuan untuk menggunakan maupun mendayagunakan sumber daya.
- Dimensi manfaat adalah sesuatau yang baik untuk didapatkan atau diterima oleh seseurang dari proses penggunaan atau mendayagunakan sumber daya. Faktor penyebabnya dimensi akses, kontrol, maupun partisipasi yang didapatkan kecil.
E. Menuju
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Usaha untuk menghentikan bias
gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan
kebutuhan praktis gender (pratical
genderneeds). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali
hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan
mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan
pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi ilmu pengetahuan.
Adapun strategi utama menuju
kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut[9] :
- Penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
- Penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;
- Peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama perempuan;
- Peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan
- Pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
Education Sector
Analytical And Capacity Development Partenership (ACDP) Indonesia, menyatakan
bahwa kesetaraan gender tidak hanya akses semata, namun harus memiliki
pendekatan pembelajaran yang responsif gender, kesetaraan gender dalam
kurikulum, kesetaraan gender dalam pengembangan guru, kesetaraan gender dalam
pencapaian hasil dan pembelajaran.
Purwati dan
Asrohah (2005:30)[10]
menjelaskan tentang upaya untuk mengatasi masalah gender dalam pendidikan yang
dapat dilakukaan, sebagai berikut :
- Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias gender dilakukan secara kontinu (sudut pandang Islam).
- Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
- Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Contoh langkah kongkrit yang bisa diambil :
- Kemendiknas, Kemenag dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang terfokus pada penghapusan disparitas rasio gender untuk indikator pendidikan pada semua jenjang pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta memperkuat pelaksanaan pengarusutamaan gender di semua tingkatan di bidang pendidikan.
- Kemendiknas mengkaji kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Peraturan Menteri No. 84/2008 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan di tingkat sekolah dan kabupaten/kota dan untuk memperkuat pelaksanaan Keputusan Menteri yang bertujuan mencapai pendidikan yang responsif gender dengan pengembangan kapasitas di semua tingkatan dalam sistem pendidikan.
- Kemendiknas dan Kemenag melakukan penilaian terhadap sejumlah sekolah sampel di beberapa lokasi geografis yang berbeda tentang cara-cara pengintegrasian kebijakan gender dalam rencana dan pelaksanaan manajemen sekolah.
- Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dengan menggunakan perspektif gender, Peraturan Pemerintah tentang Anggaran propinsi dan kabupaten/kota, dan Peraturan Kemendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 119/2009 tentang Anggaran responsif gender.
- Kemendiknas dan Kemenag memberikan lebih banyak perhatian pada propinsi yang belum berhasil dalam menurunkan rasio paritas gender, transisi dan angka putus sekolah, dengan membuat rancangan strategi berdasar kebutuhan yang ada, dengan memperhitungkan faktor-faktor dasar yang berkontribusi terhadap rendahnya pencapaian indikator di propinsi dan kabupaten/kota.
- Kemendiknas mempercepat program pelatihan yang ada untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan data terpilah berdasar gender, analisa dan perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk indikator tertentu.
- Mempercepat program yang ada yang terkait akses pendidikan dan memprioritaskan propinsi yang memiliki kesenjangan paritas gender yang signifikan dalam indikator pendidikan. Ini termasuk Program Sekolah Satu Atap (gabungan SD dan SMP), Sekolah Kecil, Sekolah Satelit di daerah miskin dan terpencil dan program Bantuan Langsung Tunai Bersyarat. Meningkatkan cakupan dan kualitas program pemerataan (Paket A, B dan C), khususnya jika disparitas rasio gender terjadi pada angka putus sekolah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas. Perlu juga dilakukan kajian untuk melihat efektifitas skema yang digunakan untuk mengatasi kesenjangan gender.
- Mengembangkan kebijakan dan mensinkronisasinya di tingkat nasional, daerah dan sekolah untuk memastikan bahwa perempuan yang menikah dini, hamil dan ibu muda bisa melanjutkan pendidikan. Melaksanakan kampanye untuk membangun kesadaran akan pentingnya mengurangi insiden pernikahan dini dan mendorong kelangsungan pendidikan bagi laki-laki, dan apalagi perempuan, yang menikah dini.
- Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK perlu mengkaji kurikulum pelatihan guru untuk memperbaiki penyusunan materi dan keterampilan mengajar sehingga responsif gender.
- Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dan meningkatkan penyediaan buku teks pelajaran yang peka gender pada semua tingkat pendidikan, termasuk teks, gambar dan akses yang sama terhadap kegiatan ekstra-kurikuler olahraga, seni dan sains.
- Kemendiknas memastikan mekanisme pembiayaan pendidikan bersifat responsif gender. Misalnya, ketika membiayai infrastruktur dan rehabilitasi sekolah baru, dan merancang bangunan sekolah, maka harus memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan. Di SMP dan SMA, perlu ada fasilitas sanitasi yang terpisah dan memadai bagi perempuan, untuk keperluan terkait menstruasi.
- Kemendiknas dan Kemenag merumuskan kebijakan yang jelas, yang mengatur penempatan laki-laki dan perempuan yang memenuhi kualifikasi di semua kegiatan pendidikan (termasuk pendidikan Islam), terutama dalam posisi kepemimpinan, manajemen, dan akademik di semua tingkatan pendidikan (sistem sejenis sudah terlaksana di lapangan dengan adanya perwakilan dalam partai politik dan parlemen).
[1]
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. NIM. 1503041
[2]
Stevenson, M. R. 1994. Gender Roles Through the Life Span. A Multidisciplinary
Perspective. Muncie, Indiana : Ball State University.
[3]
Puspitawati, Herien. 2012. Gender dan Keluarga : Konsep dan Realita di
Indonesia. Bogor : PT. IPB Press.
[4] Sudjana,
Djudju. 2004. Pendidikan Luar Sekolah :
Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung :
Falah Production
[5] Djunaedi
dan Muzayyanah. 2008. Pendidikan Islam
Adil Gender di Madrasah. Jakarta : Pustaka STAINU
[6] Meutia
Hatta Swasono. Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia. Di unduh dari : http://www.satneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2260&itemid=219
diakses tanggal 23 September 2016
[7] Lima
Masalah Perempuan Yang Urgen. Diunduh di : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=133594:5-Masalah-Perempuan-Yang-Urgen&Catid=31;Perempuan&Itemid=99
diakses tanggal 23 September 2016
[8] Amasari.
2005. Laporan Penelitian Pendidikan Berwawasan Gender (Banjarmasin : IAIN
Antasari) hal. 31
[9] Natasha,
Harum. 2013. Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan : faktor Penyebab, Dampak
dan Solusi. Jurnal Marwah. Vol. XII
No. 1 tahun 2013, pp.53-64
[10]
Purwati, Eni dan Asrohah. 2005. Bias
Gender dalam Pendidikan Islam. Surabaya : Alpha