Pemerintah sebenarnya telah merancang berbagai program
untuk menyamaratakan tingkat pendidikan di Indonesia agar menjangkau semua
warga negaranya. Ada namanya pemberantasan buta aksara/buta huruf, lalu ada
program wajib belajar 6 tahun, kemudian dilanjutkan atau dinaikkan lagi grade nya menjadi program wajib belajar
9 tahun yang telah dirancang sejak tahun 1994 yaitu dengan dikeluarkannya
Inpres No. 1 tanggal 2 Mei 1984 (https://www3.nd.edu/~rbarger/www7/compulso.html).
Jalur pendidikannya pun tidak hanya dijalur formal, namun juga dijalur
pendidikan non formal dan informal. Jalur pendidikan non formal yaitu dengan
adanya program kejar Paket A yang setara Sekolah Dasar (SD) dan program kejar
Paket B yang setara SLTP/SMP yang mana hasilnya diakui setara dengan pendidikan
pada jalur formal yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Begitu pula
pada Home Schooling, dapat diakui setara dengan pendidikan formal yang mengacu
pada standar nasional pendidikan. Pada tahapan selanjutnya ada pemberian
program bantuan operasional sekolah (BOS) yang menjadi upaya pemerintah untuk
melakukan pemerataa pendidikan di Indonesia.
Namun program-program tersebut belum merata
menjangkau semua dan belum maksimal. Atas dasar itulah muncul gagasan baru
untuk menanggulangi permasalahan tersebut supaya program wajib belajar
pendidikan dasar dapat terwujud dan merata. Gagasan tersebut adalah “compulsory education” yaitu konsep
pendidikan wajib belajar yang sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan
tanggung jawabnya terhadap program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah
daerah, orang tua, maupun peserta didik. (Fajar, 2011).
Mengapa konsep compulsory education ini perlu
dilakukan? Karena program wajib belajar pendidikan dasar sebelumnya memberlakukan
konsep “universal basic education” yang
artinya program wajib belajar pendidikan dasar ini baru sebatas himbauan tanpa
adanya sanksi hukum. Namun hal ini berimplikasi juga pada pembebasan biaya
pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara, supaya keluarga tidak perlu
memikirkan lagi hal-hal tentang pendanaan pendidikan.
Dalam pengertian negara maju, compulsory education
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya unsur paksaan agar peserta
didik bersekolah, (2) diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar,
(3) ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah, dan (4)
tolok ukur keberhasilan Wajar adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi
karena telah mendorong anaknya bersekolah (Fajar, 2011). Dengan adanya peraturan
ini, maka kewajiban orang tua adalah memberikan pendidikan kepada
putra-putrinya baik di sekolah maupun jika dia tidak mau, pendidikan di rumah
pun (home schooling) bisa ditempuh. Berbeda dengan Wajib Belajar di Indonesia
dicirikan: (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) tidak ada sanksi
hukum, sekedar sanksi moral, (3) tidak diatur dalam undang-undang tersendiri,
(4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan.
Cara ini
menurut penulis cocok diterapkan agar memang muncul akan kesadaran dari semua
warga negara akan pentingnya pendidikan dasar, semua anak mendapat kesempatan
dalam memperoleh pendidikan yang layak tanpa dibebani pembiayaan. Walaupun hal
ini terkesan adanya unsur pemaksaan, namun begitulah cara apabila ingin merubah
kebiasaan/cultur dan hambatan yang ada di masyarakat terkait pendidikan dasar.
Dalam UUD 1945 pasal 31 (2) juga dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya juga
dinyatakan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 34 (2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang dasar tanpa memungut biaya. Jadi sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk
tidak memperoleh pendidikan dasar di Indonesia. Anggarannya pun cukup besar
yaitu minimal 20% dari APBN dan ditambah lagi dari APBD. Pembiayaan pemerintah paling tidak mampu
mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Arianto,
Fajar. 2011. Wajib Belajar, Sebuah Dilema
Si Miskin. Kompasiana
Undang-Undang
Nomor 20. 2003. Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta : Balitbang Depdiknas
Undang-Undang Nomor 52. 2009. Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga.
Waskito,
AA. 2009. Kamus Praktis Bahasa Indonesia.
Jakarta : PT. Wahyu Media
Sumber
lain :
https://www3.nd.edu/~rbarger/www7/compulso.html
0 komentar:
Posting Komentar