Deskripsi
Lembaga UNICEF
UNICEF
awalnya merupakan singkatan dari United Nations International Childrens Emergency Fund (1946). Awal terbentuknya UNICEF dimulai ketika Perang Dunia
II berakhir, PBB mulai mempromosikan perdamaian dunia. Hal tersebut karena banyak pemimpin PBB dari seluruh
dunia khawatir tentang anak-anak di Eropa. Para delegasi untuk PBB menyiapkan dana sementara yang
disebut Dana Darurat PBB Internasional Anak.
Dana UNICEF tersebut
telah digunakan untuk
mengatasi kendala kemiskinan, kekerasan, penyakit dan diskriminasi terjadi terhadap
anak diseluruh dunia. Tantangan terbesar UNICEF pada
saat itu adalah membantu
anak-anak yang hidupnya telah hancur akibat perang dunia II. Selama ini UNICEF
telah menjadi kekuatan untuk seluruh anak diseluruh dunia. UNICEF memiliki
otoritas global untuk mempengaruhi para pengambil keputusan. Pada
tahun 1953, organisasi ini mengganti nama menjadi United Nationals Children’s Fund.[1]
Atas
dasar rasa kemanusiaan dan peduli terhadap anak-anak secara global, Unicef
mengembangkan pergerakannya keseluruh belahan dunia seperti Afrika, Amerika, Timur
Tengah dan Asia . Secara umum Unicef merupakan organisasi yang membantu
anak-anak dalam mendapatkan perhatian dan perawatan yang dibutuhkan ketika
mereka kecil karena tanpa didasari perhatian dan kasih sayang, seseorang anak
dapat mengalami keterbelakangan mental dan moral.
1.
Fungsi UNICEF
Sebagai salah
satu organisasi kemanusiaan yang berada di bawah naungan PBB yang peduli
terhadap masalah anak-anak.UNICEF menjalankan fungsi-fungsi antara lain[2] :
a. Memberi arahan dan alternatif pemecahan
bagi negara-negara yang menghadapi masalah tentang anak-anak.
b.
Memberi advice dan bantuan bagi rencana dan penerapan usaha- usaha kesejahteraan anak.
c.
Mendukung latihan-latihan bagi para
pekerja sosial Unicef di seluruh negara.
d. Mengkoordinasi proyek-proyek bantuan
dalam skala kecil untuk melakukan metode yang lebih baik.
e.
Mengorganisasikan proyek-proyek yang
lebih luas.
f. Bekerjasama dengan partner internasional
untuk memberi bantuan eksternal bagi negara yang membutuhkan.
2.
Misi UNICEF
Adapun misi dari
organisasi UNICEF, antara lain[3]:
a.
Mempertahankan
hak-hak anak dan menuntut adanya kesetaraan gender serta etika dimata dunia.
b. Menegaskan bahwa
kelangsungan hidup, perlindungan dan perkembangan anak adalah tujuan
pembangunan universal yang berguna untuk memajukan hidup dari insan manusia itu
sendiri. Oleh sebab itu, Unicef banyak memberikan perhatian terhadap
permasalahan pendidikan anak didunia sekalipun.
c. Memobilisasi
sumber daya antara kemauan
pemerintah dan negara, khususnya kemauan dari negara berkembang.
d. Memberikan
komitmen penuh untuk memastikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang dirugikan oleh peperangan,
kemiskinan, cacat, korban bencana alam, dan segala bentuk kekerasan serta
eksploitasi terhadap anak-anak.
e. Melalui konvensi
hak anak juga menegaskan hak-hak anak sebagai prinsip etik dan standar
internasional terhadap prilaku anak-anak, UNICEF juga menegaskan bahwa
kelangsungan hidup, perlindungan dan perkembangan anak-anak merupakan
pembangunan individu yang menjadi bagian integral dari kemampuan manusia itu
sendiri.
3.
Tujuan UNICEF
Sebagai organisasi bentukan PBB
setelah Perang Dunia II, UNICEF memiliki tujuan utama yaitu untuk memberikan
perawatan kesehatan yang layak dan makanan untuk anak-anak dan perempuan di
dunia. Dari tujuan utama tersebut Unicef memiliki fungsi yaitu penyediaan
Infrastruktur pendidikan dasar untuk dunia, meningkatkan tingkat anak hidup di
negara berkembang, kesetaraan jender melalui pendidikan bagi anak perempuan,
perlindungan anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan, melindungi
dan advokasi hak anak Imunisasi bayi dari berbagai penyakit. Penyediaan gizi
yang memadai dan air minum yang aman untuk anak-anak.
Secara lebih detail,
UNICEF merumuskan tujuannya, yaitu[4]:
a. Menjunjung tinggi tingkat
kesejahteraan anak diseluruh dunia yaitu kondisi dimana setiap anak memperoleh
hak-hak mereka seperti yang sudah dijelaskan dalam Deklarasi Hak Anak pada tahun
1959 dan mereka berhak untuk mendapatkan segala sesuatu yang mereka butuhkan
demi pembangunan nasional di tiap-tiap negara.
b. Memberikan perhatian pada
perkembangan anak terutama di negara berkembang, dimana menekankan kepada
pemerintah negara berkembang harus memiliki kebijakan jangka panjang bagi
anak-anak dan kaum muda di negaranya untuk meningkatkan kondisi anak-anak yang
harus didukung dengan strategi pembangunan internasional.
c. Memberikan perhatian yang
lebih besar pada kebutuhan- kebutuhan dasar anak agar mereka dapat mencapai
potensi yang maksimal terutama pada anak-anak yang berada dalam kondisi sosial
ekonomi yang kurang memadai, bencana alam, atau korban dari kebijakan domestik yang diberlakukan, serta
bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik dan mental.
d. Pengalaman UNICEF dalam
menyusun kebijakan dan program-programm yang terkait dengan anak-anak dapat
berguna dalam proses penyusunan target dan prinsip global bidang ekonomi dan
sosial, serta dalam menyiapkan strategi-strategi pembangunan.
e. Dapat merealisasikan hak
anak dan perempuan didunia sebagaimana tercantum dalam Convention of the Rights of Children (CRC) dan Convention on Elimination of all forms of Discriminations Against Women (CEDAW).
1.
Out
of School Children Initiative (OOSCI)
A. Kajian
Program yang Dikembangkan
Merupakan
suatu program yang inisiatif melibatkan kemitraan antara UNICEF dan institut
UNESCO untuk mendukung kemitraan pendidikan secara global. Ini telah
berlangsung lebih di 50 negara untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki akses
pendidikan yang baik dan mampu menyelesaikan pendidikan dasar. Tujuan dari
inisiatif ini adalah untuk mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah di seluruh
dunia dengan cara :
· Mengembangkan profil rinci dari
anak-anak sekolah, anak-anak di sekolah yang beresiko putus sekolah dan
anak-anak yang tidak sekolah.
· Menilai hambatan yang mendasari yang
menyebabkan anak-anak tidak mengenyam pendidikan dasar
· Memberikan saran kebijakan yang inovatif
dan strategis yang dapat membawa ke
sekolah dan memelihara mereka disana.
OOSCI
bertujuan untuk mendukung negara-negera dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas pendidikan dan menganalisis anak yang tidak sekolah dan anak-anak
yang beresiko putus sekolah dengan menggunakan metode statistik inovatif untuk
mengembangkan profil dan data yang komprehensif. Dalam hal ini, UNESCO dan UNICEF percaya bahwa
untuk menyediakan pendidikan dasar bagi setiap anak, kebijakan yang lahir harus
sebagian besar fokus pada anak-anak terpinggirkan sebagai bagian dari upaya
yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas dan akses pendidikan. Untuk melakukan hal ini, pemerintah disetiap
negara memerlukan informasi yang kuat terkait anak-anak yang putus sekolah dan
tidak berpendidikan dasar, dimana mereka hidup, apakah mereka pernah sekolah dan
bagaimana masa depan mereka menjadi lebih baik.
Sejak
tahun 2000, sebuah kemajuan yang dibuat untuk mengakses pendidikan dasar
merupakan hak asasi menusia yang paling mendasar. Hal ini tertuang dalam tujuan
pembangunan milenium dan pendidikan untuk semua (Education for all). Tujuannya sangat jelas, yaitu untuk memperluas
sistem pendidikan, dengan jalan membangun sekolah lebih banyak dan pemerataan
penempatan guru, dihapuskannya biaya sekolah yang memberatkan yang semuanya
untuk memastikan semua anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar.
Menurut
studi yang dilakukan oleh UNICEF terkait dengan Out Of School Children Initiative menganalisa data dan memberikan
rekomendasi terkait hambatan-hambatan untuk pendidikan di semua negara,
ternyata yang paling sesuai adalah dengan pendekatan konteks lokal[5].
Dengan berbekal data dan bukti yang akurat, maka pendekatan dapat memfokuskan
diri pada ekuitas yang memungkinkan pemerintah untuk membuat perubahan yang
ditargetkan dalam kebijakan dan strategi untuk menghilangkan hambatan-hambatan
dalam meningkatkan jumlah anak yang mendapatkan pendidikan dasar di sekolah.
Selain itu, dari hasil studi yang ada diperkuat oleh kemitraan, instansi
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional
seperti United Kingdom Departement for
International Development (DFID)/Departemen Pembangunan Internasional
Inggris dan bank dunia.
OOSCI
membagi kelompok-kelompok anak yang termasuk pada kajiannya dalam lima dimensi,
yaitu :
1)
Anak-anak usia pra sekolah dasar yang
tidak pada pra sekolah dasar
2)
Anak-anak usia sekolah dasar yang tidak
sekolah di sekolah menengah dan sekolah dasar
3) Anak-anak usia sekolah menengah pertama
yang tidakada di sekolah dasar dan sekolah menengah
4)
Anak-anak di sekolah dasar tetapi
beresiko putus sekolah
5)
Anak-anak di sekolah menengah pertama
tetapi beresiko putus sekolah.
Gambar 1
The Five
Dimensions of Exclusion (5DE)
Dalam
studi OOSCI, menerapkan delapan langkah yang diperlukan untuk menghasilkan
analisis kuantitatif. Berikut langkah-langkahnya :
1)
Membuat sebuah inventaris dari negara
(data anak yang sekolah dan tidak sekolah)
2) Melakukan penilaian kualitas data untuk mengenali
sumber-sumber kekeliruan potensial dan kesenjangan.
3) Menghitung indikator di masing-masing
dimensi (5DE) dan menyelesaikan tabel data mengunakan metodologi indikator
standar dan alat bantu hidung data.
4)
Melakukan penerapan analisis untuk
menentukan individu dan keluarga dari ciri-ciri anak-anak di masing-masing
negera sesuai 5DE.
5)
Menganalisa sumber penyebab anak-anak
yang berada di dalam dan diluar sistem pendidikan dan mengenali dimana letak
kelehan sistem tersebut disuatu negara.
6)
Memiliki data mengenai gaps dan batasan
yang jelas
7) Mengembangkan data dan analisa untuk
memberikan rekomendasi dan intervensi yang menerangkan bahwa anak-anak di
masing-masing 5DE mendapat pendidikan yang selayaknya.
B. Layanan
Pendidikan Non Formal dan Infomal yang Diselenggarakan
Model
5DE yang diterapkan pada OOSCI menyediakan sebuah gambaran yang statis pada
titik tertentu, waktu tertentu, lokasi tertentu dan keadaan tertentu. Ada
alternatif yg ditawarkan bila pendidikan sekolah tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan karena alasan berbagai macam hal. UNICEF memberikan alternatif
pendidikan non formal dalam model 5DE[6].
Menurut
definisi yang ditulis dalam International
Standar Classification of Education (ISCED) tahun 2011, mendefinisikan
bahwa pendidikan formal adalah, “education
that is institutionalised, intentional and planned through public organizations
and recognised private bodies, and – in (its) totality – constitute(s) the
formal education system of a country. Formal education programmes are thus
recognised as such by the relevant national education or equivalent
authorities, e.g. any other institution in cooperation with the national or
sub-national education authorities.” Maksudnya bahwa pendidikan formal
adalah pendidikan yang dilembagakan, yang sengaja dan direncanakan oleh
organisasi publik atau pemerintah yang diakui dan keseluruhan yang mencakup
sistem pendidikan formal suatu negara. Program-program pendidikan formal yang
dikenal secara nasional dan relevan yang diakui pihak berwenang atau setara
dengan pendidikan di lembaga lain dalam kerjasama dengan nasional dan sub
nasional yang berwenang dalam pendidikan.
Sedangkan
pendidikan non formal adalah : “education
that is institutionalised, intentional and planned by an education provider.
The defining characteristic of non-formal education is that it is an addition,
alternative and/or complement to formal education within the process of the
lifelong learning of individuals. It is often provide to guarantee the right of access to education for all.
(...) Non-formal education mostly leads to qualifications that are not recognised
as formal or equivalent to formal qualifications by the relevant national or
sub-national education authorities or to no qualifications at all.” Maksudnya
bahwa pendidikan non formal adalah pendidikan yang dilembagakan, yang disengaja
dan direncanakan oleh penyelenggara pendidikan. Karakteristik pendidikan non
formal adalah bahwa ia merupakan tambahan, dan/atau alternatif melengkapi
pendidikan formal dalam proses belajar individu. Hal ini disediakan untuk
menjamin hak akses pendidikan untuk semua. Pendidikan non fomal apabila
kualifikasinya ingin diakui setara dengan pendidikan formal harus memenuhi
persyaratan yang relevan oleh nasional atau sub nasional oleh pihak yang
berwenang dalam pendidikan.
Dalam
konteks OOSCI, anak-anak dan remaja yang berpartisipasi dalam pendidikan non
formal yang dianggap bagian dari sekolah, namun kelayakan yang didapat dari
program tersebut harus diakui setara oleh otoritas kualifikasi nasional. Namun
kualifikasi dalam pendidikan non formal yang tidak sama dengan pendidikan
formal berbeda dari paparan diatas, karena tidak sama untuk semua dan harus
dilaporkan secara terpisah ketika nantinya data anak-anak yang sekolah akan
dianalisis.
Tebel
berikut menjelaskan inti dari jenis kegiatan pendidikan non formal yang
berhubungan dengan kelompok 5DE[7]:
No.
|
Kegiatan
|
Keterangan
|
1
|
Pendidikan Anak Usia Dini : layanan
peduli pendidikan untuk anak-anak yang kelahirannya memasuki usia pendidikan
dasar, yang telah ditentukan oleh negara.
|
Di sekolah
Hanya untuk
anak-anak usia pra sekolah dasar.
|
2
|
Melek Huruf : diselenggarakan terutama
untuk memberikan kemampuan mengenal, memahami, menafsirkan, membuat,
berkomunikasi dan menghitung, dengan menggunakan gambar cetak dan bahan-bahan
tertulis yang dikaitkan dengan konteks yang berbeda-beda.
|
Tidak di sekolah
Termasuk dalam
dimensi 1, 2 dan 3 tergantung pada usia peserta didik.
|
3
|
Sekolah kesetaraan :
diperuntukan bagi anak-anak yang terorganisir dan kaum muda yang tidak
memiliki akses atau drop dari sekolah dasar formal/Basic Education; biasanya
bertujuan untuk menyediakan sebuah layanan untuk pendidikan dasar, serta
layanan utama untuk anak-anak dan kaum muda yang akan melanjutkan dalam
sistem formal jika berhasil menyelesaikan program.
|
Di sekolah
|
4
|
Pelatihan Kecakapan Hidup : program dan
kegiatan diatur untuk memberikan kemampuan dan fungsi yang lebih baik dalam
kehidupan sehari-hari dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
misalnya kesehatan dan kebersihan diri, pencegahan HIV/AIDS.
|
Tidak di sekolah
Termasuk
dimensi dalam 1, 2 dan 3 tergantung pada usia peserta didik.
|
5
|
Pelatihan kejuruan non formal :
pelatihan-pelatihan dalam mengahasilkan pendapatan atas layanan produktif dan
kejuruan. Hal ini dapat dirujuk sebagai sumber mata pencaharian dengan tujuan
meningkatkan produktivitas dan pendapatan
|
Tidak di sekolah
Termasuk
dimensi dalam 1, 2 dan 3 tergantung pada usia peserta didik.
|
6
|
Pembangunan pedesaan : pendidikan,
pelatihan dan layanan khusus yang dilakukan di masyarakat pedesaan terutama
untuk mendukung pembangunan dengan meningkatkan produk dan praktik pertanian,
peternakan dan pengelolaan sumber daya alam, misalnya tanah, air dan hutan.
|
Tidak di sekolah
Termasuk
dimensi dalam 1, 2 dan 3 tergantung pada usia peserta didik.
|
7
|
Pendidikan
pengembangan profesional : pendidikan lanjutan
dan peluang pelatihan untuk para peserta
didik yang memperoleh pendidikan tingkat tertentu;
dapat berupa kursus khusus
seperti komputer dan
pelatihan bahasa
|
Tidak di sekolah
Termasuk
dimensi dalam 1, 2 dan 3 tergantung pada usia peserta didik.
|
8
|
Pendidikan Agama : yaitu yang
diselenggarakan khusus belajar atau mengkaji tentang agama yang
diselenggarakan di gereja-gereja, masjid, kuil, rumah ibadah dan
tempat-tempat ibadah lainnya.
|
Tidak di sekolah
Kecuali
kurikulum serupa dengan sekolah-sekolah yang diakui dalam sistem pendidikan
nasional setara dengan pendidikan formal.
|
9
|
Pendidikan tradisional/budaya ; budaya
tradisional atau kegiatan masyarakat adat
|
Tidak di sekolah
Termasuk
dimensi dalam 1, 2 dan 3 tergantung pada usia peserta didik.
|
Itulah
beberapa jenis kegiatan yang menjadi panduan dan batasan pendidikan non formal
yang berkaitan dengan kelompok 5DE. Dari tabel tersebut ada yang dilaksanakan
di lingkungan sekolah dan ada yang dilaksanakan tidak di lingkungan sekolah.
Yang dilaksanakan tidak dilaksanakan di lingkungan sekolah erat kaitannya
dengan pendidikan non formal.
C. Implementasi
Program tersebut di Indonesia
Deklarasi
dunia tentang pendidikan untuk semua (education
for all) yang mana mengajak kepada bangsa-bangsa di dunia termasuk di
dalamnya bangsa Indonesia, untuk meningkatkan pengetahuan dasar bangsanya.
Ajakan tersebut bagi bangsa Indonesia bukan merupakan hal baru, sebab upaya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah dinyatakan secara tegas pada alinea
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi
dalam Undang-Undang No.2 Th.1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang
No.20 Th.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalamnya tersirat
adanya kewajiban belajar bagi semua rakyat Indonesia. Bahkan konsep wajib
belajar di Indonesia sudah dicanangkan sejak tahun 1950 melalui Undang-Undang
No.4 Th.1950. Akan tetapi secara formal pelaksanaan wajib belajar baru dimulai
tahun 1984.
Jika
kita merujuk pada kondisi saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin canggih turut mewarnai pemikiran tentang kebutuhan pendidikan
dasar bagi suatu bangsa, jika bangsa itu ingin maju. Upaya meningkatkan
kualitas pendidikan berarti meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar
mampu menyerap dan memanfaatkan berbagai informasi.
Dalam
kaitan dengan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun, kedudukan Wajar SD 6 tahun
sangatlah strategis. Pada saat ini partisipasi anak usia SD sudah mencapai 95%
dengan angka putus sekolah sekitar 3% per tahun dan angka bertahan (retention rate) sampai kelas VI
mencapai 80%. Ini berarti bahwa 5% anak yang putus sekolah sebelum kelas IV
adalah calon penduduk buta huruf (bila tidak ditanggulangi). Sedangkan 20% anak
yang tidak sampai kelas VI adalah yang tidak akan dapat mengikuti pendidikan
SLTP. Dengan telah dicapainya angka persentasi 95% bagi partisipasi anak usia
SD, maka arah kebijakan wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia mulai
bergeser dari jenjang sekolah dasar (SD/MI) ke jenjang sekolah lanjutan tingkat
pertama (SMP/MTs).
Tujuan
yang ingin dicapai dalam program wajib pendidikan dasar 9 tahun adalah sebagai
berikut :
Gambar
2
Tujuan
wajib belajar pendidikan dasar
Untuk
menunjang realisasi wajib belajar pendidikan dasar tersebut, berbagai model pengelolaan
pembelajaran telah dicoba diperkenalkan bahkan dilaksanakan, antara lain: cara
belajar siswa aktif (CBSA), manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum
berbasis kompetensi (KBK), pendidikan kecakapan hidup (life skill), manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS),
belajar yang dipercepat (accelerated
learning), dan masih ada beberapa lagi. Pembelajaran berbasis kompetensi
sarat dengan aktivitas siswa dalam belajar dan berlatih. Mereka melakukan
proses penguasaan dan pemilikan konsep-konsep kunci keilmuan dan atau tema-tema
esensial, sehingga menjadi kompetensi dasar, baik kompetensi akademik maupun
kompetensi kejuruan.
Jika
kita berbicara masalah model yang tepat digunakan untuk mensukseskan wajib
belajar pendidikan dasar sebenarnya memang menyesuaikan dengan keadaan saat
ini. Jika pada pendidikan formal atau pendidikan di sekolah berkembang dari
teori belajar yang disebut paedagogi yang berarti seni dan pengetahuan
membimbing anak. teori belajar lain yaitu andragogi yang
berarti seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa. Namun, oleh karena
orang dewasa merupakan individu yang memiliki identitas diri (sense of identity) dan men- garahkan
serta menggerakkan diri sendiri (self directed,
self motivated), maka andragogi lebih me- mentingkan kegiatan belajarnya
peserta didik bukan mengajarnya guru. Paedagogi mengutamakan model isi (content model) sedangkan andragogi
mengutamakan model proses (Kuntoro, 1983)[8]. Dalam
rangka mengarahkan diri sendiri, orang menggunakan pengalaman belajarnya,
menetapkan sendiri kesiapan untuk belajar, dan mengorganisasikan kegiatan
belajarnya (self directed learning) (Knowles,
1985). Proses itu berkembang lamban dari anak-anak sampai praremaja dan
selanjutnya berkembang cepat dalam masa remaja sampai dewasa. Selain paedagogi
dan andragogi ada konsep pendidikan seumur hidup (life long education). Implikasi konsep ini ialah bahwa pendidikan
tidak hanya merupakan proses yang terjadi di sekolah, melainkan juga di dalam
keluarga dan masyarakat, serta berlangsung sepanjang hidup manusia.
Pendidikan
nonformal lebih banyak berbicara dan berbuat dari segi realita hidup dan ke-
hidupan masyarakat. Perhatiannya lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu
terwujudnya proses pembelajaran di masyarakat. Dalam konteks ini orientasi pendidikan
nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
menghadapi permasalahan di lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat
untuk memecahkannya sehingga masyarakat dapat memperbaiki hakikat dan harkat
hidupnya. Dengan demikian pendidikan nonformal merupakan bagian dari
relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peran sertanya
dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang membedakan dari jalur pendidikan yang
lain.
Hal
itu sesuai dengan visi pendidikan nonformal yang mencanangkan terwujudnya warga
masyarakat cerdas, terampil, mandiri, berdaya saing, dan genar belajar. Untuk
mewujudkan visi tersebut ditetapkanlah misi pendidikan nonformal sebagai
berikut: (a) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini;
(b) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dasar luar sekolah; (c)
perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan masyara- kat;
(d) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan bagi
perempuan (Sihombing, 2000)[9].
Pendidikan
nonformal sebagai salah satu jalur pendidikan di samping pendidikan formal
(pendidikan di sekolah) dan pendidikan in-formal (pendidikan di keluarga),
mempunyai satuan-satuan pendidikan yang beragam. Jalur pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Fungsi pendidikan nonformal
mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan
dan ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional.
Secara
substansial pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan
kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik (pasal 26 UU No.20 Th.2003). Kebutuhan akan pendidikan seperti
itu disalurkan melalui program-program pendidikan nonformal, antara lain:
Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok
Bermain (Play Group), Keaksaraan
Fungsional (KF), Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SLTP, Kejar
Paket C setara SLTA, Kepramukaan, Pendidikan Kepemudaan, Pendidikan Kewa-
nitaan, Kursus-kursus Keterampilan/Kejuruan, Permagangan, Kejar Usaha, dan
Pemberdayaan Ekonomi Desa. Dengan demikian cakupan umur warga belajar dalam
pendidikan nonformal mulai dari pra sekolah (sebelum taman kanak-kanak yang
dalam UU No.20 Th.2003 menjadi jalur pendidikan formal), hingga berusia tua.
Walau
menghadapi berbagai kendala, program Wajar Dikdas 9 tahun harus mencapai
sasaran partisipasi anak usia 13-15 tahun diatas 85% pada akhir tahun 2003
bersamaan dengan masuknya Indonesia dalam pasar bebas Asean. Karena itu
pemerintah bersama seluruh masyarakat dituntut untuk mencari berbagai jalan
keluar agar sebanyak mungkin anak usia sekolah 7-15 tahun dapat memperoleh
pendidikan dasar 9 tahun. Di tahun 2004 ternyata telah dicapai hasil wajib belajar
yang menggembirakan, yaitu untuk jenjang sekolah dasar (SD) usia 7-12 tahun
telah mencapai partisipasi sebesar 95%. Dalam kaitan inilah prioritas
pelaksanaan wajib belajar lebih diarahkan ke jenjang SLTP, maka dikembangkan
program Paket B setara SLTP sebagai pendukung terlaksa- nanya Wajar Dikdas 9 tahun.
Untuk
mencapai target menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun, berbagai model pembelajaran
di sekolah dicoba diterapkan seperti telah diuraikan di muka, antara lain CBSA,
MBS, KBK, MPMBS, dan akhir-akhir ini muncul konsep belajar yang dipercepat (Accelerated Learning). Semua
model/program pembelajaran itu merupakan model pembelajaran pembaharuan yang
menekankan pada belajar berbasis kehidupan manusia secara alamiah dengan
mengurangi sifat mekanistik, dan berupaya memanusiakan siswa dalam proses
pembelajaran, serta menempatkan siswa sebagai pusat (student centered) dalam sistem pembelajaran.
Dari program-program pendidikan
nonformal seperti diuraikan di atas, terdapat dua pro- gram yang sangat terkait
dengan program wajib belajar pendidikan dasar, yaitu Kejar Paket A setara SD
dan Kejar Paket B setara SLTP. Namun implementasi program-program tersebut
bukan tidak menghadapi kendala. Meskipun
secara keseluruhan angka masuk sekolah dasar cukup tinggi, sebuah kajian tentang Anak Putus
Sekolah yang dilakukan bersama oleh Kementerian Pendidikan, UNESCO, dan UNICEF
di tahun 2011[10]
menunjukkan bahwa 2,5 juta anak usia 7-15 tahun masih tidak bersekolah, dimana
kebanyakan dari mereka putus sekolah sewaktu masa transisi dari SD ke SMP. Di
tahun 2012, UNICEF bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dan mitra lain, memusatkan perhatiannya pada pengembangan kerangka lingkungan
kebijakan yang tepat untuk membawa anak-anak itu kembali ke sekolah. Ini
dicapai dengan melakukan analisis tentang kesenjangan, hambatan, dan sumbatan dalam akses
pendidikan. Pekerjaan analisis
ini membantu otoritas pendidikan setempat untuk mengembangakan kebijakan
pendidikan yang fokus pada kesetaraan dan rencana strategis pendidikan di
tingkat kabupaten, serta meningkatkan komitemen pemerintah pusat untuk
menentaskan angka putus sekolah.
Mengutip dari jurnal
Gitoasmoro (2005)[11],
maka secara konseptual penanganan wajib belajar pendidikan dasar dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.
Diagram
penanganan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Menurut Usia dan Status Pendidikan
Anak
D. Kesimpulan
dan Rekomendasi
Program
UNICEF Out-of-School Children Initiative Merupakan suatu program yang inisiatif
melibatkan kemitraan antara UNICEF dan institut UNESCO untuk mendukung
kemitraan pendidikan secara global dan bertujuan untuk mendukung negara-negera
dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan dan menganalisis anak yang
tidak sekolah dan anak-anak yang beresiko putus sekolah dengan menggunakan
metode statistik inovatif untuk mengembangkan profil dan data yang
komprehensif. Dalam hal ini, UNESCO dan
UNICEF akan memberikan rekomendasi dan intervensi kepada setiap negara yang
anggota PBB khususnya untuk meningkatkan tingkat pendidikan suatu negara
minimal memiliki pendidikan dasar yang layak sesuai dengan keadaan, kebutuhan
negara-negara tersebut.
Indonesia
sebenarnya telah lama mencanangkan apa yang dilakukan oleh Unicef dan Unesco
tersebut, hal ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Hal tersebut lebih
ditegaskan lagi dalam Undang-Undang No.2 Th.1989 yang telah diperbaharui dengan
Undang-Undang No.20 Th.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di
dalamnya tersirat adanya kewajiban belajar bagi semua rakyat Indonesia. Bahkan
konsep wajib belajar di Indonesia sudah dicanangkan sejak tahun 1950 melalui
Undang-Undang No.4 Th.1950. Akan tetapi secara formal pelaksanaan wajib belajar
baru dimulai tahun 1984.
Peran
pendidikan non formal cukup penting dalam mensukseskan program tersebut, dengan
pendidikan kesetaraan paket A setara Sekolah Dasar dan paket B setara SMP yang
bukan hanya “belajar saja”, namun juga diberikan bekal untuk bisa memiliki
ketrampilan dengan berbagai macam kursus dan life skill. Bahkan untuk program
pendidikan kesetaraan di Indonesia tidak terpaku pada usia anak (antara 6-16 tahun)
namun siapapun boleh mengikuti program kesetaraan ini tanpa adanya batasan
umur.
Untuk mencapai kondisi
optimal diperlukan langkah-langkah sesuai dengan karakteristik pendidikan
nonformal sebagai berikut: (1) bantuan masyarakat untuk memberikan dukungan
bagi terciptanya masyarakat gemar belajar agar warga belajar dapat selalu
menggunakan waktunya untuk belajar; (2) bantuan dari pihak swasta yang memiliki
modal untuk mengembangkan pendidikan disetiap daerah, misalnya dengan Corporate Social Responsibility (CSR)
harus banyak diarahkan kepada pengembangan pendidikan di Indonesia; (3)
Pemerintah Daerah memberikan dukungan dana dan sarana, karena peserta Paket A
dan Paket B adalah mereka dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi kurang
beruntung. Dengan cara ini program kejar Paket A setara SD dan Paket B setara
SLTP akan dapat benar-benar mendukung suksesnya pelaksanaan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 tahun
[1]
Black, Maggie, “Children First: The Story of UNICEF, Past and Present,”
Oxford: Oxford University Press, 1996.
[2]
Unicef, Welcome to Unicef, an Orientation Handbook,
Training Section, devision Of Perssonel Unicef (New York Unicef 1990), Hal
2.
[4] ibid
[5] UNICEF
dan UNESCO . 2015. Fixing the Broker
Promise of Education For All.
[6] UNICEF.
2015. Operator Manual Global Out-of-School Children Initiative
[7]
Types of
activities adapted from: Connal, Criana, and Claude Sauvageot, NFE-MIS
Handbook: Developing a sub-national non-formal education management
information system,
United Nations Educational, Scientifi and Cultural Organization, Paris, 2005,
p. M1-6.
[8]
Kuntoro, Sodiq. 1983. Konsep Andragogi :
Implikasi terhadap Strategi Membelajarkan Orang Dewasa dalam PLS. Jakarta :
Depdikbud
[9]
Sihombing, Umberto. 2000. Pendidikan Luar
Sekolah Kini dan Masa Depan. Konsep, Kiat dan Pelaksanaan. Jakarta : PD
Mahkota
[10] Dimuat
dalam laporan tahunan Unicef Indonesia
[11]
Gitoasmoro, Soegimin. 2005. Peran Pendidikan Non Formal dalam Realisasi wajib
Belajar Pendidikan Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, Vol.6 No. 1
pp.35-46