BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak
ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan kualitas
pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun mesti diprioritaskan. Sebab kualitas
pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja
yang bisa bertahan hidup di masa depan. Manusia yang dapat bergumul dalam masa
dimana dunia semakin sengit tingkat kompetensinya adalah manusia yang
berkualitas. Manusia demikianlah yang diharapkan dapat bersama-sama manusia
yang lain turut bepartisipasi dalam percaturan dunia yang senantiasa berubah
dan penuh teka-teki (Isjoni, 2008:vii)[1].
Memasuki era globalisasi di abad 21 diperlukan suatu
peradigma baru dalam sistem pendidikan dunia, dalam rangka mencerdaskan umat
manusia dan memelihara persaudaraan. Pemikiran tersebut telah disadari oleh
UNESCO yang kemudian merekomensasikan “empat pilar pembelajaran” untuk memasuki
era globalisasi.
Dalam upaya memajukan pendidikan, khususnya di
Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang dapat menopang pendidikan tersebut.
Keempat pilar tersebut adalah learning to
know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dimana
Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru/Pendidik/tenaga
pendidik harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu Guru/Pendidik
dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswa/peserta
didik/peserta didiknya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan.
Sekolah/lembaga/sejenisnya sebagai wadah masyarakat
belajar seyogjanya memfasilitasi warga belajarnya untuk mengaktualisasikan
keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat
terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat warga belajar dipengaruhi
faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung
pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan
sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan
daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning
to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan
bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi
lingkungannya. Misal : bagi siswa/peserta didik/peserta didik yang agresif,
akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi.
Dan sebaliknya bagi siswa/peserta didik/peserta didik yang pasif, peran Guru/Pendidik/tenaga
pendidik sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat
diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa/peserta didik secara
utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning to live together” (belajar
untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup
bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan di
lingkungan formal, nonformal dan informal.
Pembelajaran yang berkualitas pada akhirnya bermuara
pada penciptaan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal dengan istilah PAKEM dan
mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu bentuk pembelajaran efektif,
dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar mengetahui (learning
to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning
to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Pembelajaran
Sebagai Pilar Utama Pendidikan
Menurut Sudjana (2004:28)[2]
“Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja
untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara
dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber
belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan”. Pembelajaran adalah setiap
perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari
pengalaman. Kita telah melihat individu mengalami
pembelajaran, melihat individu berperilaku dalam cara tertentu sebagai hasil
dari pembelajaran, dan kita semua telah belajar dalam suatu tahap dalam hidup
kita. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi
ketika seorang individu berperilaku, bereaksi, dan merespons sebagai hasil dari
pengalaman dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.
Hal-hal inilah yang akan mendidik seseorang untuk menjadi orang yang terdidik.
B.
Pilar-Pilar
Pendidikan
Komisi Pendidikan untuk Abad XX1 (Unesco 1996: 85[3]) melihat
bahwa hakikat pendidikan sesungguhnya adalah belajar (learning).
Selanjutnya dikemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu (1) learning to know, (2) learning to
do, (3) learning to live together, learning to live with other, dan (4)
learning to be.
1.
Learning to
Know ( Belajar untuk Tahu)
Tidak hanya memperoleh pengetahuan
tapi juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini
berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan
intelektual dan akademik yang tinggi.
Secara implisit, learning to
know bermakna belajar sepanjang hayat (Life long learning).
Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses
pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, baik didalam maupun diluar
sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup berlangsung seumur
hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri
sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.
Dengan kebijakan tanpa batas umur
dan batas waktu untuk belajar, maka kita mendorong supaya tiap pribadi sebagai
subjek yang bertanggung jawab atas pendidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
a. Proses dan waktu pendidikan berlangsung seumur hidup
sejak dalam kandungan hingga manusia meninggal.
b.
Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak
ada kata terlambat atau terlalu dini untuk belajar.
c. Belajar/ mendidik diri sendiri adalah proses
alamiah sebagai bagian integral/totalitas kehidupan (Burhannudin Salam,
1997:207)[4].
Konsep learning to
know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai
berikut (Fakhruddin, 2010:49-61)[5]
:
1)
Guru/Pendidik berperan sebagai sumber belajar
Peran ini
berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan Guru/Pendidik
yang baik apabila ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga
benar-benar berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
2)
Guru/Pendidik sebagai Fasilitator
Guru/Pendidik
berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa/peserta didik dalam kegiatan
proses pembelajaran.
3)
Guru/Pendidik sebagai pengelola
Guru/Pendidik
depeberperan menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa/peserta didik
dapat belajar secara nyaman. Prinsip-prinsip belajar yang harus
diperhatikan Guru/Pendidikdalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:
a) Sesuatu yang dipelajari siswa/peserta didik, maka siswa/peserta
didik harus mempelajarinya sendiri.
b)
Setiap siswa/peserta didik yang belajar memiliki
kecepatan masing-masing.
c) Siswa/peserta didik akan belajar lebih banyak, apabila
setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement.
d)
Penguasaan secara penuh.
e)
Siswa/peserta didik yang diberi tanggung jawab, maka
ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
4)
Guru/Pendidik sebagai demonstrator
Guru/Pendidik berperan untuk menunjukkan kepada siswa/peserta
didik segala sesuatu yang dapat membuat siswa/peserta didik lebih
mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
5)
Guru/Pendidik sebagai pembimbing
Siswa/peserta didik adalah individu yang
unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan. Perbedaan
inilah yang menuntut Guru/Pendidik harus berperan sebagai pembimbing.
6)
Guru/Pendidik sebagai mediator
Guru/Pendidik selain dituntut untuk memiliki
pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki keterampilan
memilih dan menggunakan media dengan baik.
7)
Guru/Pendidik sebagai Evaluator
Yakni sebagai penilai hasil pembelajaran siswa/peserta
didik. Dengan penilaian tersebut, Guru/Pendidik dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa/peserta
didik terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode mengajar
2.
Learning to
do ( Belajar untuk Menerapkan )
Learning to
do mengandung makna bahwa
belajar bukanlah sekedar mendengar dan melihat untuk mengakumulasi pengetahuan,
akan tetapi belajar dengan dan untuk melakukan sesuatu aktivitas dengan tujuan
akhir untuk menguasai kompetensi yang diperlukan dalam menghadapi tantangan
kehidupan. Kompetensi akan dapat dimiliki oleh
pesrta didik apabila diberikan kesempatan untuk belajar dengan melakukan apa
yang harus dipelajarinya secara langsung. Dengan demikian learning to do juga
berarti proses pembelajaran berorientasi pada pengalaman langsung (learning by experience). Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi
juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan
bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda
dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal,
sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan
kursus-kursus, program bergantian antara
belajar dan bekerja.
Sekolah sebagai wadah masyarakat
belajar hendaknya memfasilitasi siswa/peserta didiknya untuk mengaktualisasikan
ketrampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to
do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah kemampuan
potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang
akan datang. Sedangkan minat adalah kecendrungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Meskipun bakat dan minat anak
dipengaruhi factor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat
juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi menjadi dua yaitu:
a)
Lingkungan
social
Yang termasuk dalam lingkungan
social siswa/peserta didik adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman
sepermainan di sekitar perkampungan siswa/peserta didik tersebut.Lingkungan
social yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan
keluarga siswa/peserta didik itu sendiri.
b)
Lingkungan
nonsosial
Factor-faktor yang termasuk
lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal
keluarga siswa/peserta didik dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan
cuaca. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan
belajar siswa/peserta didik (Muhibbin Syah, 2004:138)[6].
Sekolah juga berperan penting dalam
menyadarkan peserta didik bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh
karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan
tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung
jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah.
3.
Learning to
live together (belajar untuk dapat hidup bersama)
Belajar memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan
nilai-nilai agamanya. Learning to live
together, pada dasarnya adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta
didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik,
menjauhi prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan
menghindari terjadinya perselisihan dan konflik. Persaingan dalam misi ini
harus dipandang sebagai upaya-upaya yang sehat untuk mencapai keberhasilan,
bukan sebaliknya bahwa persaingan justru mengalahkan nilai-nilai kebersamaan
bahkan pengehancuran terhadap orang lain atau pihak lain untuk kepentingan
sendiri. Dengan demikian diharapkan kedamaian dan keharmonisan hidup
benar-benar dapat diwujudkan.
Dalam proses pembelajaran, pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan Guru/Pendidik dan sesama siswa/peserta didik yang dilandasi sikap saling menghargai harus perlu secara terus menerus dikembangakan di dalam setiap even pembelajaran. Kebiasaan-kebiasaan untuk bersedia seringkali kurang mendapat perhatian oleh Guru/Pendidik, karena dianggap sebagai hal rutin yang berlangsung saja pada kegiatan sehari-hari. Padahal kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan baik begitu saja, akan tetapi membutuhkan latihan-latihan yang terbimbing dari Guru/Pendidik. Kebiasaan-kebiasaan saling menghargai yang dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan dilakukan secara terus-menerus akan menjadi bekal bagi siswa/peserta didik untuk dapat dikembangakan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat
Dalam proses pembelajaran, pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan Guru/Pendidik dan sesama siswa/peserta didik yang dilandasi sikap saling menghargai harus perlu secara terus menerus dikembangakan di dalam setiap even pembelajaran. Kebiasaan-kebiasaan untuk bersedia seringkali kurang mendapat perhatian oleh Guru/Pendidik, karena dianggap sebagai hal rutin yang berlangsung saja pada kegiatan sehari-hari. Padahal kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan baik begitu saja, akan tetapi membutuhkan latihan-latihan yang terbimbing dari Guru/Pendidik. Kebiasaan-kebiasaan saling menghargai yang dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan dilakukan secara terus-menerus akan menjadi bekal bagi siswa/peserta didik untuk dapat dikembangakan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat
4.
Learning to
be ( Belajar untuk Menjadi)
Tiga
pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari
informasi dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam
memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran
terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan
adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik.
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan
untuk melatih siswa/peserta didik agar memiliki rasa percaya diri yang
tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa/peserta didik untuk
hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan
bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be)(Atika,
2010)[7].
Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan
jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di
masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses
pencapaian aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101)[8] yaitu
:
a.
Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat
dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna
mencapai suatu tujuan/kebutuhan
b.
Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam
berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat.
c.
Minat
d.
Kebiasaan belajar
Berbagai
hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi positif
dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara
bertindak yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada
akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis.
e.
Konsep diri
Konsep diri
adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut perasaannya,
serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.
Makna
pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan
pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian
mantap dan mandiri.
C.
Garis Besar
Mengenai ke Empat Pilar Pendidikan UNESCO
1.
Kekuatan
Keempat
pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus
pula, dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik
tidak hanya diajarkan IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan
masalah, akan tetapi juga hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah
maraknya perbedaan pendapat dimasyarakat. Dengan ke kempat pilar ini akan
bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
2.
Kelemahan
Meskipun ke
empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian bagusnya, namun perlu diingat,
masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut,
seperti kurangnya SDM Guru/Pendidik yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan
pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting
pendidikan, kemudian ada lagi fasilitas, fasilitas yang masih minim akan sangat
menghambat kemajuan proses belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
3.
Peluang
Apabila
pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar pendidikan ini, maka pada
gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang bermartabat di
mata masyarakat dunia.
4.
Ancaman
Keempat pilar pendidikan UNESCO ini
bisa menjadi bumerang bagi peserta didik dan pengajar apabila tujuan
atau keinginan yang hendak dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa jadi akan
muncul sikap pesimis dan putus asa kehilangan kepercayaan diri.
Keempat pilar pendidikan sebagaimana dipaparkan di atas, sekaligus merupakan
misi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan
belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan belajar menjadi
seseorang atau belajar menjadi diri sendiri yang didasari keinginan secara
sungguh-sungguh maka akan semakin luas wawasan seseorang tentang pengetahuan,
tentang nilai-nilai posifit, tentang orang lain serta tentang berbagai dinamika
perubahan yang terjadi. Kesemuanya ini diharapkan menjadi modal fundamental
bagi seseorang untuk mampu mengarahkan dirinya dalam berprilaku positif
berpijak pada nilai-nilai yang dia yakini kebenarannya, dan pada gilirannya
akan semakin terbuka pikiran untuk melihat fakta-fakta yang benar dan yang
salah, suatu tindakan yang sesungguhnya merugikan ataupun membawa kemajuan bagi
diri dan orang lain. Kemampuan-kemampuan tersebut juga akan membekali individu
untuk mampu melihat secara nyata betapa konflik dan pertikaian-pertikaian telah
memberikan banyak kerugian di dalam tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa,
dan merugikan diri serta lingkungannya. Pada sisi lain seseorang juga akan
mampu melihat bagaimana suasana yang harmoni dapat memberikan kenyamanan dan ketentraman
dalam hidup, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi suatu masyarakat dan
bangsa mencapai kemajuan-kemajuan yang lebih berarti bagi semua orang.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pilar-pilar pendidikan tersebut dirancang dengan sangat bagus dan dengan tujuan
yang sangat bagus pula. Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan
pendidikan yang berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi
lebih baik. Namun masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan
tersebut, baik mengenai SDM nya, fasilitasnya, perbedaan
pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting
pendidikan, dan kendala-kendala lain.
Persoalan pendidikan merupakan
tanggung jawab kita bersama, karenanya tentu secara bersama-sama pula kita
mencari alternative pemecahannya. Mudah-mudahan ke empat pilar tersebut dapat
kita realisasikan dan akan nampak hasinya.
Mari melakukan introspeksi diri
sejauh mana kita sudah melakukan yang terbaik untuk perubahan dan perbaikan
terhadap persoalan pendidikan yang melilit negeri ini.Satu harapan kita semua,
agar dunia pendidikan di Indonesia bisa menjadi lebih baikdan berkualitas.
Keempat
pilar tersebut adalah learning to know,
learning to do, learning to be, dan learning to live together. Adapun
program pembelajaran yang diberikan hendaknya mampu memberi kesadaran kepada
masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning
to know. Bahan ajar yang dipilih hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan
alternatif kepada peserta didiknya (learning
to do), dan mampu memotivasi untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki
orientasi hidup ke masa depan (learning
to be). Pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk ketrampilan
untuk dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup bertetangga,
bermasyarakat, berbangsa dan hidup dalam pergaulan antar bangsa-bangsa dengan
semangat kesamaan dan kesejajaran (learning
to live together).
B.
SARAN
Mewujudkan kondisi ideal potret
pembelajaran yang kreatif, bukanlah hal yang mudah lantaran munculnya beragam
fenomena aktual dalam dunia pendidikan sangat dibutuhkan Guru/Pendidik yang
bersungguh-sungguh mengembangkan kompetensinya, baik kompetensi personal,
profesional, dan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, Guru/Pendidik
diharapkan lebih kreatif di dalam mendesain proses pembelajaran, sehingga ada
perpaduan yang sinergis antara hasil pembelajaran dengan kecakapan hidup (life
skill).
Kerjasama dan koordinasi antara seluruh
komponen sekolah dipandang perlu agar masing-masing komponen sekolah dapat
memberikan kontribusi secara maksimal, dalam menumbuhkan tunas-tunas muda
harapan bangsa.
[1] Isjoni.
2008.Isjoni. 2008.Bersinergi dalam Perubahan : Menciptakan Pendidikan
Berkualitas di Era Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
[2] Sudjana,
Nana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
[3] Delors,
J.,et al. 1996. Learning : The treasure Within. Paris. UNESCO
[4] Salam,
Burhanuddin. 1997. Filsafat Pendidikan. Bandung : CV.Pustaka Setia
[5]
Fakhrudin. 2010. Menjadi Guru Favorit. Yogyakarta : Diva Press
[6] Syah,
Muhibbin. 2004. Psikologi Sosial dengan Pendekatan Baru. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
[7]Atika
Aziz. 2010. Empat Pilar Pendidikan Menurut UNESCO. Online: http://Atikatikaaziz.Blogspot.com.2010/09/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html?m=1 diakses 14
Februari 2016
[8]
Djamal. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
0 komentar:
Posting Komentar