A. Konsep
Gender
1.
Pengertian Gender
Menurut
WHO[1],
gender Gender
merujuk pada karakteristik sosial yang dibangun oleh perempuan dan laki-laki, seperti
norma, peran dan hubungan dari dan antara kelompok-kelompok perempuan dan
laki-laki. Ini bervariasi dari masyarakat untuk masyarakat dan dapat diubah.
Sementara kebanyakan orang dilahirkan laki-laki atau perempuan, mereka
diajarkan norma dan perilaku yang sesuai - termasuk bagaimana mereka harus
berinteraksi dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama atau berlawanan
dalam rumah tangga, masyarakat dan tempat kerja. Ketika individu atau kelompok
tidak "cocok" didirikan norma jender mereka sering menghadapi stigma,
praktek diskriminasi atau pengucilan sosial - yang semuanya mempengaruhi
kesehatan. Hal ini penting untuk peka terhadap identitas yang berbeda yang belum
tentu cocok dengan laki-laki atau kategori jenis kelamin perempuan.
Menurut Deaux dalam (Stevenson, 1994)[2]
istilah “gender” mengacu pada kondisi psikologis atau kategori sosial yang
diasosiasikan dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga disampaikan
oleh Lips dalam (Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah aspek
non-fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas.
Definisi gender menurut berbagai pustaka adalah sebagai berikut :
- Smith dalam Puspitawati (2012:2)[3] menyatakan bahwa, “Gender should be conseptualized as a set of relations, exixting in social institutions and reproduced in interpersonal interaction” (gender diartikan sebagai suatu set hubungan yang nyata di institusi sosial dan dihasilkan kembali dari interaksi antar personal).
- Ferree dalam Puspitawati (2012:2) menyatakan bahwa, “Gender is not a property of individuals but an ongoing interaction between actors and structures with tremendous variation across men‟s and women‟s lives “individually over the life course and structurally in the historical context of race and class”. (Gender bukan merupakan property individual namun merupakan interaksi yang sedang berlangsung antar aktor dan struktur dengan variasi yang sangat besar antara kehidupan laki-laki dan perempuan “secara individual‟ sepanjang siklus hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras dan kelas).
- West dan Zimmerman dalam Puspitawati (2012:2) menyatakan bahwa, “Gender is not a noun- a “being‟–but a “doing‟. Gender is created and reinforced discursively, through talk and behavior, where individuals claim a gender identity and reveal it to others”. (Gender bukan sebagai suatu kata benda - “menjadi seseorang”, namun suatu “perlakuan”. Gender diciptakan dan diperkuat melalui diskusi dan perilaku, dimana individu menyatakan suatu identitas gender dan mengumumkan pada yang lainnya).
- Nasarudin (2003:3)[4] mengatakan bahwa gender merupakan interpretasi dari budaya terhadap jenis kelamin, artinya gender murupakan efek yang timbul akibat adanya perbedaan anatomi biologi yang cukup jelas antara laki-laki dan perempuan.
- BKKBN[5] mendefinisikan gender perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Dari
beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gender memang terkait
dengan sex, namun gender tidak sama dengan sex. Jika sex hanya sebatas
fisiologi, maka gender lebih dari itu, melibatkan psikologi, culture, waktu dan
lainnya. Secara umum, gender adalah sebuah konstruksi sosial yang bersifat
relatif sesuai dengan masyarakat dan waktu tertentu, memiliki sistem kebudayaan
tertentu yang berbeda dengan masyrakat lain dan waktu yang lain pula.
2.
Ciri-Ciri Gender
Jika kita berbicara
masalah ciri, maka gender merupakan pengelompokan karakteristik yang tampak
antara pria dan wanita berdasarkan perbedaan yang dilihat dari prilaku yang
dimilikinya yang terbentuk secara alamiah dari proses sosial dan budaya.
Menurut Bem (1981)[6] pada
umumnya gender diklasifikasikan menjadi empat peran, yaitu maskulin, feminism,
androgini dan tidak tergolongkan. Adapun pengertian masing-masing peran
tersebut, yaitu :
a.
Tipe
maskulin, yaitu manusia yang sifat kelaki-lakiannya diatas rata-rata, sifat kewanitaannya
kurang dari rata-rata. Ciri-ciri yang berkaitan dengan gender yang lebih umum
terdapat pada laki-laki, atua suatu peran atau trait maskulin yang dibentuk oleh budaya. Dengan demikian maskulin
adalah sifat dipercaya dan bentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi
laki-laki.
b.
Tipe
feminim, yaitu manusia yang sifat kewanitaannya diatas rata-rata, sifat
kelelaki-lakiannya kurang dari rata-rata. Ciri-ciri atau trait yang umum terdapat pada perempuan daripada laki-laki. Ketika
dikombinasikan dengan “stereotipikal”, maka ia mengacu ada trait yang diyakini lebih berkaitan pada perempuan daripada
laki-laki secara kulturi pada budaya atau subkultur tertentu. Berarti, feminim
merupakan ciri-ciri atau trait yang
dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan.
c. Tipe
androgini, yaitu manusia yang sifat kelaki-lakiannya maupun
kewanitaannya diatas rata-rata. Selain pemikiran tentang maskulin dan feminitas
sebagai berada dalam suatu garis kontinum, dimana lebih pada satu dimensi berarti
kurang pada dimensi yang lain, ada yang menyatakan bahwa individu-individu
dapat menunjukkan sikap ekspresif dan instrumental. Pemikiran ini memicu
perkembangan konsep anrogini.
d. Tipe tidak
tergolongkan (undiferentiated), yaitu
manusia yang sifat kelaki-lakiannya maupun kewanitaannya dibawah rata-rata.
Tingginya kehadiran kerakteristik maskulin dan feminim yang diinginkan pada
satu individu pada saat yang bersamaan (Santrok, 2003). Individu yang androgini
adalah seorang laki-laki yang asertif (sifat maskulin) dan mengasihi (sifat
feminim), atau seorang perempuan yang dominan (sifat maskulin) dan sensitif
terdapat perasaan orang lain (sifat feminim). Beberapa penelitian menemukan
bahwa androgini berhubungan dengan berbagai atribut yang sifatnya positif,
seperti self-eksteem yang tinggi,
kecemasan rendah, kreatifitas, kemampuan parenting
yang efektif.
3.
Indikator
Gender
Pada umumnya
indikator didefinisikan sebagai alat ukur untuk menunjukkan suatu keadaan atau
kecenderungan keadaan dari suatu hal yang menjadi pokok perhatian. Ini dapat
menyangkut fenomena sosial, ekonomi, penelitian, proses suatu usaha peningkatan
kualitas atau hal lainnya. Indikator dapat berupa informasi kuantitatif seperti
ukuran dan angka, atau informasi kualitatif seperti atribut dan pendapat yang
dapat menunjukkan kemungkinan perubahan. Indikator digunakan apabila fenomena
yang akan dinilai perubahannya tidak langsung terlihat seperti halnya perubahan
harga atau berat badan yang secara kuantitatif mudah diukur.[7]
a.
Indikator Kuantitatif
Pengelompokkan
dapat dilakukan menurut berbagai kriteria, antara lain menurut tehapan
kegiatan, dan menurut jumlah variabel yang dipakai.
1)
Menurut Tahapan Kegiatan
Rangkaian
indikator menurut tahapan kegiatan ini biasa dikembangkan untuk evaluasi
tingkat program dan proyek. Sebagai contoh untuk mengevaluasi suatu program
pendidikan dapat disusun indikator sebagai berikut :
- Indikator input : menunjukkan kontribusi awal seperti dana yang dialokasikan untuk gedung sekolah, misalnya 20% dari seluruh anggaran belanja negara untuk sektor pendidikan.
- Indikator proses : menggambarkan aktivitas yang sedang berlangsung, seperti partisipasi sekolah anak usia 7-18 tahun adalah 79,35%
- Indikator output : pengukuran terhadap hasil kegiatan pendidikan, seperti tingkat melek huruf sebesar 92 %.
- Indikator dampak : pengukuran hasil kegiatan proyek/program pendidikan secara menyeluruh dalam jangka panjang, seperti angka partisipasi angkatan kerja.
2)
Menurut Jumlah Variabel yang Dipakai
Indikator dapat menunjukkan suatu dimensi kejadian atau kehidupan
atau multidimensi kejadian atau kehidupan yang digabungkan menjadi satu. Indikator
yang pertama disebut indikator tunggal dan yang kedua disebut indikator komposit.[8]
Indikator
tunggal sangat bermanfaat untuk menyusun rencana aksi dan
intevensi. Indikator tunggal lebih mempunyai arti dan
akan menjadi masukan bagi pembuat kebijakan suatu bidang secara lebih baik dari
pada indikator komposit. Indikator komposit banyak digunakan dalam
pemantauan dan evaluasi fenomena sosial karena seperti telah disebutkan didepan,
fenomena sosial bersifat multidimensi. Cara penghitungan nilai indikator komposit
ini secara sederhana dapat dilakukan dengan penjumlahan skor (menjadi indeks),
namun cara ini banyak mendapat kritikan karena masalah pembobotan dan
penjumlahan besaran yang berbeda. Para ahli sosiometrika telah banyak
mengembangkan cara penghitungan indikator komposit seperti Skala Guttman dan Skala
Liker.
b.
Indikator Kualitatif
Indikator kualitatif biasanya didefinisikan sebagai uraian mengenai
pandangan dan penilaian sekelompok orang tentang suatu subyek yang spesifik. Berbeda
dengan indikator kuantitatif yang sudah dikenal luas dan memperoleh legitimasi sebagai
yang obyektif, banyak orang belum terbiasa dengan indikator kualitatif, yang memang
relatif baru. Sebagian menganggap indikator kualitatif itu tidak ilmiah, tidakvalid,
paling sedikit dianggap subyektif tidak dapat diukur sehingga tidak dapat dipercaya.
Para perencana yang terbiasa dengan angka, sering kali tidak memberi perhatian pada
indikator kualitatif yang dipandangnya hanya sebagai opini.
Sama halnya dengan indikator pada umumnya, indikator kualitatif. Juga
dapat dikelompokkan menurut berbagai kriteria.Yang paling banyak dipakai adalah
untuk mengukur kinerja sebuah kebijakan, program, proyek, kegiatan pembangunan melalui
suatu rangkaian indikator kualitatif bersama-sama dengan indikator kuantitatif misalnya:
1) Indikator input, yang mengukur
beberapa vaniabel yang merupakan masukan atau kontribusi awal dalam suatu proyek.
Misalnya : indikator kuantitatif yaitu 20% alakasi dana diperuntukkan bagi sektor
pendidikan; dan indikator kualitatifnya adalah uraian permanfaatan dana tersebut.
Untuk dapat menguraikan indikator pemanfaatan dana itu, rnaka sejumlah
perranyaan-pertanyaan untuk indikator kualitatif perlu diajukan, antara lain bagaimana
perincian alokasi dana tersebut (prioritas sekolah desa-kota; Jawa-luar Jawa;
untuk rehabilitasi gedung; untuk seragam guru; untuk perpusatakaan, ruang
bermain anak, ruang guru, dan seterusnya).
2) Indikator proses, adalah indikator
yang mengukur aktivitas yang sedang berlangsung. Misalnya : indikator kuantitatif
yaitu 50,49% angka partisipasi sekolah anak laki-laki usia 16-18 tahun dan 48,03%
angka partisipasi sekolah anak perempuan usia 16-18 tahun; dan indikator kualitatifnya
adalah uraian mengapa angka partisipasi siswa perempuan menurun pada tingkat sekolah
yang lebih tinggi dan bagaimana usaha menyetarakannya.
3)
Indikator output, adalah
indikator yang mengukur hasil awal dari suatu kebijakan/program/proyek/kegiatan
pembangunan. Misalnya : indikator kuantitatif yaitu 79% perempuan melek huruf
(1990), meningkat menjadi 85%(1995), tetapi masih tertinggal dari laki-laki 90%
(1990) dan 93% (1995). Indikator kualitatifnya adalah uraian mengapa kenaikan
angka melek huruf perempuan lebih tinggi dari laki-laki dalam kurun waktu 5 tahun.
4) Indikator dampak (adalah
indikator yang mengukur hasil dari suatu intervensi (program, proyek) setelah
kegiatan selesai (dalam jangka panjang). Misalnya: indikator kuantitatif adalah
pola ketenagakerjaan diferensial yang terjadi karena pendidikan. Indikator
kualitatifnya adalah uraian mengapa pola ketenagakerjaan berbeda antara
propinsi A dan B meskipun tingkat pendidikan tidak terlalu berbeda jauh,
mengapa pola ketenagakerjaan antara laki-laki dan perempuan berbeda meskipun
jenis pendidikannya sama[9].
B. Konsep Pendidikan Keluarga
1.
Pengertian Pendidikan Keluarga
Keluarga secara realitas merupakan
lembaga pendidikan pertama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak
dipersiapkan untuk mampu berbahasa, berpendapat, berkreasi, berimajinasi,
hingga mampu memproduk sesuatu adalah berkat pendidikan pertama yang
diterimanya dalam keluarga. Dengan kata lain, keluarga adalah
pengantar atau bekal bagi setiap anak untuk memasuki pendewasaan secara
berpikir, bersikap, bergerak hingga memutuskan suatu secara tepat.
Pendidikan dalam keluarga
merupakan pendidikan yang bersifat pembiasaan, spontanitas, unik dan
mengesankan, materi pendidikannya berisi pengalaman kehidupan, media dan
metodenya disesuaikan dengan keadaan atau kondisi setiap keluarga tanpa harus
memerlukan biaya yang besar serta pengajar yang formal bahkan bisa dilakukan
dalam waktu 24 jam.
Pendidikan
adalah pengaruh yang dilaksanakan oleh orang dewasa atas generasi yang belum
matang untuk penghidupan sosial (Emile Durkheim dalam Hufad, 2012:4). Ki Hajar
Dewantara mengartikan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan
budi pekerti, fikiran, dan tubuh anak, dalam pengertian tidak boleh
dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan
alamnya dan masyarakatnya. Definisi pendidikan juga tertuang dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pedidikan Nasional, bahwa Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
D’Antonio
(1983)[10]
mendefinisikan keluarga sebagai suatu unit yang terdiri dari dua orang tua atau
lebih, yang hidup bersama untuk suatu periode waktu, dan diantara mereka saling
berbagi dalam suatu hal atau lebih, berkaitan dengan : pekerjaan, seks,
kesejahteraan dan makanan anak-anak, kegiatan-kegiatan intelektual, spiritual
dan rekreasi. Sedangkan Rollin dan Galligan dalam Sudiapermana (2012:12)[11]
mendefinisikan keluarga sebagai suatu sistem interaksi semi tertutup diantara
orang-orang yang bervariasi umur dan jenis kelaminnya, dimana interaksi
tersebut terorganisasi dalam arti hubungan posisi sosial dengan norma dan
peranan yang ditentukan, baik oleh individu yang berinteraksi maupun oleh
masyarakat sebagai kekhasan dari sistem tersebut.
Pengertian
pendidikan keluarga menurut Poggler dalam Hufad (1997:18-20)[12]
menyatakan bahwa pendidikan keluarga bukanlah pendidikan yang diorganisasikan,
tetapi pendidikan yang “organik” yang didasarkan pada “spontanitas”, intuisi,
pembiasaan dan improvisasi. Ini berarti bahwa pendidikan keluarga adalah segala
usaha yang dilakukan oleh orang tua dan pembiasaan dan improvisasi untuk
membantu perkembangan pribadi anak. Sedangkan menurut Djamarah dalam Faidah
(2013)[13]
menyatakan bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan yang berlangsung di
lingkungan keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggung
jawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga, atau
proses transformasi perilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial
terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang
pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan
dan perilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
2.
Ciri-Ciri Pendidikan Keluarga
Menurut
Sanapiah Faisal (1981:50)[14]
ciri-ciri pendidikan keluarga adalah :
- Tidak pernah diselenggarakan secara khusus di sekolah
- Medan pendidikan yang bersangkutan tidak diadakan pertama-tama dengan maksud menyelenggarakan pendidikan
- Pendidikan tidak terprogramkan
- Tidak ada waktu belajar yang tertentu
- Metode mengajarnya tidak formal
- Tidak ada evaluasi yang sistematis
- Umumnya tidak diselenggarakan oleh pemerintah.
3.
Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Anak
Dilihat dari sisi fungsi, setiap
keluarga pada hakikatnya memiliki berbagai macam fungsi secara ekonomi, sosial,
pendidikan, psikologis, hukum, reproduksi dan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi
ekonomi berarti keluarga menjadi tulang punggung memperoleh sekaligus mengelola
kegiatan ekonomi secara professional. Antara penghasilan dan pengeluaran dapat
tersusun dan terencana secara tepat sehingga tidak besar pasak dari pada tiang.
Selain beberapa fungsi di atas,
Helmawati[15]
juga menambahkan bahwa fungsi keluarga mencakup: pertama, fungsi agama.
Fungsi ini dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai keyakinan berupa iman dan
takwa. Fungsi agama dalam istilah lain disebut fungsi religious berhubungan
dengan perintah untuk senantiasa menjalankan perintah diri secara optimal. Kedua,
fungsi biologis sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan agar keberlangsungan
hidupnya tetap terjaga. Ketiga, fungsi ekonomi yaitu berhubungan dengan
pengaturan penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah
tangga. Keempat, fungsi kasih sayang yakni bagaimana setiap anggota
keluarga harus menyayangi satu sama lain. Kelima, fungsi perlindungan
yaitu setiap anggota keluarga berhak mendapatkan perlindungan dari anggota
lainnya. Sehingga kepala keluarga harus mampu memberikan keamanan dan
kenyamanan dalam keluarga sehingga tidak sepantasnya terjadi sikap saling
menyakiti satu sama lain. Keenam, fungsi rekreasi adalah penyegaran
pikiran, menenangkan jiwa dalam bentuk rekreasi guna mengakrabkan tali
kekeluargaan.
Mengacu pada makna keluarga
dalam konteks sosiokultural Indonesia pada khususnya, diketahui bahwa keluarga memiliki fungsi-fungsi: (1) sebagai peresekutuan primer, yaitu hubungan antara anggota keluarga bersifat mendasar dan eksklusif karena faktor ikatan biologis, ikatan hukum dan karena adanya kebersamaan dalam mempertahankan kehidupan; (2) sebagai pemberi afeksi (kasih sayang) atas dasar ikatan biologis atau ikatan hukum yang didorong oleh rasa kewajiban dan tanggung jawab; (3) sebagai lembaga pembentukan yang disebabkan faktor anutan, keyakinan, agama, nilai budaya, nilai moral, baik bersumber dari dalam keluarga maupun dari luar; (4) sebagai lembaga pemenuhan kebutuhan, baik yang bersifat material maupun mental spiritual; (5) sebagai lembaga partisipasi dari kelompok masyarakatnya, yaitu berinteraksi dalam berbagai aktivitas, baik dengan keluarga lain, masyarakat banyak maupun dengan lingkungan alam sekitarnya.[16]
Dari sejumlah fungsi di atas, dapat ditarik simpulan bahwa
keluarga menanggungjawabi dalam pembentukan sumber daya insan kamil, karena memang disitulah untuk pertama kali seseorang mengawali kehidupan. Seseorang lahir, menjadi bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan selanjutnya melepaskan diri dari keluarganya guna membentuk keluarga baru. Karena itu, maka kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya.
[1] http://www.who.int/gender-equity-rights/understanding/gender-definition/en/
(diakses 13 September 2016)
[2]
Stevenson, M. R. 1994. Gender Roles Through the Life Span. A Multidisciplinary
Perspective. Muncie, Indiana : Ball State University.
[3]
Puspitawati, Herien. 2012. Gender dan Keluarga : Konsep dan Realita di
Indonesia. Bogor : PT. IPB Press.
[4]
Nasaruddin, Umar. 2003. Pemahaman Islam
dan Tantangan Keadilan Gender. Yogyakarta : Gama Media.
[5] BKKBN.
2007. Konsep dan Teori Gender.
[6] Dikutip
dari repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/.../Bab%202.pdf
[7]
Bappenas. 2001. Indikator Gender untuk Perencanaan Pembangunan
[8] Ibid.
Hal.. 28
[9]
Indikator dampak dalam proyek, harus diperlakukan secara lebih hati-hati,
karena banyaknya faktor yang ikut mempengaruhi, termasuk intervensi berbagai
macam program yang serupa atau yang berkaitan dengannya.
[10]
William V. D’Antonio. 1983. “Family Life,
Religion, and Society Values and Structures”. Beverly Hills: Sage
Publications. Pp. 81-108
[11]
Sudiapermana, Elih. 2012. Pendidikan
Keluarga : Sumberdaya Pendidikan Sepanjang Hayat. Bandung : Edukasia Press
[12]
Hufad, Achmad. 1997. Pengaruh Pendidikan
Keluarga terhadap Sosialisasi dan Perkembangan Kepribadian Anak. Pp. 18-20
[13] Dikutip
dari digilib.uinsby.ac.id/2042/5/Bab%202.pdf
[14] Faisal,
Sanapiah. 1981. Pendidikan Luar Sekolah.
Surabaya : Usaha Nasional
[15] Helmawati,
Pendidikan dalam Keluarga., hal. 45.
[16]
Hufad, Acmad. 2012. Keluarga dan Pendidikan Anak (Tinajuan Sosiologi Agama
terhadap proses Pendidikan Anak dalam Keluarga).
0 komentar:
Posting Komentar