Indonesia memang merupakan negara yang tingkat
heterogenitasnya tinggi, maka sangat rentan muncul gesekan-gesekan atau
konflik. Dalam kesempatan kali ini saya akan sedikit menjabarkan terlebih
dahulu yang dimaksud dengan konflik vertikal dan horizontal. 1) konflik
vertikal adalah gesekan yang terjadi antar tingkat kelas, golongan atau strata
yang berbeda, baik itu antara golongan yang rendah dengan golongan yang lebih
tinggi posisinya. Contohnya konflik antara kaum buruh dengan pengupah
(mandor/manager) akibat sistem upah yang tidak sesuai, regulasi kerja yang
tidak sesuai dan lain-lain. 2) konflik horizontal adalah konflik yang terjadi
antar individu atau kelompok yang sekelas atau sederajat. Contohnya konflik
antar supporter sepak bola, yang mana
sering terjadi bentrokan antar supporter akibat saling mengejek dan menganggap
tim yang mereka dukung paling benar sehingga memicu kerusuhan yang menyebabkan
kekerasan.
Ada tiga teori konflik yang saya anggap pandangannya
cukup bagus dalam melihat kondisi heterogenitas yang terjadi pada manusia,
antara lain:
1)
Ibn Khaldun
Beliau adalah seorang tokoh yang lahir di Tunisia
dan hidup dipenghujung abad pertengahan zaman renaissance yaitu pada abad ke-14
Masehi. Menurut beliau, watak psikologis manusia merupakan suatu faktor yang
penting untuk diperhitungkan. Manusia pada dasarnya mempunyai sifat agresif di
dalam dirinya. Potensi ini muncul karena adanya pengaruh animal power dalam
dirinya. Karena potensi inilah manusia juga dikenal sebagai rational animal.
Potensi lain yang ada didalam diri manusia adalah potensi akan cinta dengan
kelompoknya. Ketika manusia hidup bersama-sama dalam suatu kelompok maka fitrah
ini mendorong terbentuknya rasa cinta terhadap kelompok (ashobiyah). Kelompok
ashobiyah berbasis ada identitas golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial dalam struktur sosial
manapun dalam masyarakat dunia memeberi kontribusi terhadap berbagai konflik [1] .
Ashobiyah merupakan faktor pendukung yang sangat
mempengaruhi terjadinya konflik yang terbagi atas lima jenis[2],
yaitu : 1) Ashobiyah kekerabatan dan keturunan, adalah Ashobiyah yang paling kuat. 2) Ashobiyah
pesekutuan, terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunanya yang
semula ke garis keturunan yang lain. 3) Ashobiyah kesetiaan yang terjadi karena
peralihan seseorang dari garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain
akibat kondisi-kondisi sosial. Dalam kasus yang demikian, Ashobiyah timbul dari
persahabatan dan pergaulan yang tumbuh dari ketergantungan seseorang pada garis
keturunan yang baru. 4) Ashobiyah penggabungan, yaitu Ashobiyah yang terjadi
karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan bergabung pada keluarga
dan kaum lain. 5) Ashobiyah perbudakan yang timbul dari hubungan antara para
budak dengan tuan-tuan mereka.
Dalam hal ini, Ibn Khaldun sudah memperkirakan bahwa
pada masa yang akan datang akan muncul konflik-konflik yang terjadi di
masyarakat. Mulai dari yang berhubungan dengan urbanisasi, nepotisme dan
loyalitas yang salah, kontestasi antar suku dalam rangka merebut dan
mempertahankan kekuasaan, keadaan sosiopolitik masyarakat, aspek ekonomi,
politik kekuasaan, dan rusaknya solidaritas.
2)
George Simmel
Beliau dikenal dengan bapak sosiologi konflik,
seperti dalam artikelnya The Sociology of
conflict mengungkapkan bahwa individu menjalani proses sosialisasi, mereka
pada dasarnya pasti mengalami konflik. Ketika terjadi sosialisasi terdapat dua
hal yang mungkin terjadi, yaitu sosialisasi yang menciptakan asosiasi (individu
berkumpul sebagai kesatuan kelompok) dan disosiasi (individu saling bermusuhan
dalam satu kelompok). Simmel menyatakan bahwa unsur-unsur yang sesungguhnya
dari disosiasi adalah sebab-sebab konflik.
Simmel dalam Novri Susan (2009:48) berargumen ketika
konflik menjadi bagian dari interaksi sosial, maka konflik menciptakan
batas-batas antara kelompok dengan memperkuat kesadaran internal. Permusuhan
timbal balik tersebut mengakibatkan terbentuk stratifikasi dan divisi-divisi
sosial, yang pada akhirnya akan menyelamatkan dan memelihara sistem sosial.
Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari
dalam masyarakat Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup
pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah-pisahkan,
namun dapat dibedakan dalam analisa. Menurut Simmel konflik tunduk pada
perubahan. Kemudian Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel
tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif
membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah
kerangka masyarakat.
Beberapa upaya yang disampaikan oleh George Simmel
untuk memecahkan konflik pada masyarakat multikultural yaitu : a) Kemenangan di satu pihak atas pihak
lainnya. Contoh ketika pemilihan kepala daaerah, sering terjadi sengketa antara
yang pihak mengklaim menang dan pihak yang mengklaim dicurangi, setelah masalah
tersebut diseleaikan di Mahkamah Konstitusi, maka konflik telah berakhir sudah.
b) Kompromi atau perundingan diantara pihak-pihak yang sedang bersengketa atau
sedang bertikai, sehingga nantinya diharapkan tidak ada pihak yang sepenuhnya
menang dan tidak ada pihak yang merasa kalah, c) Rekonsiliasi antara
pihak-pihak yang bertikai, hal ini akan mengembalikan suasana persahabatan dan
saling percaya diantara pihak-pihak yang bertikai tersebut. Contoh kasus yang
diselesaikan dengan cara ini adalah ketika penyelesaian konfrontasi antara
Indonesia dengan Malaysia terkait dengan klaim kepulauan Ligitan dan Sipadan.
d) Saling memaafkan atau kedua belah pihak dengan sikap ksatria mau memaafkan
satu sama lain. e) Membuat kesepakatan untuk tidak berkonflik lagi. Contoh
kasus dalam dunia sepak bola, antara supporter
Persib Bandung dengan supporter Persija
Jakarta yang dikenal dengan sering terjadi gesekan. Namun beberapa tahun
belakangan ini telah terjadi kesepakatan antara presiden kedua supporter untuk
berdamai dan tidak berkonflik, sehingga diharapkan nantinya apabila Persib
bermain di Jakarta akan aman-aman saja begitupun sebaliknya.
3)
Ralf Dahrendorf
Beliau adalah seorang profesor di Hamburg Jerman
yang terkenal dengan karyanya The Modern
Sociel Conflict Society. Ralf berasumsi bahwa setiap masyarakat pasti akan
tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem
sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi
dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan
tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Selain itu, Ralf Dahrendorf juga menyatakan bahwa
masyarakat memiliki dua wajah berbeda. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu
dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah
lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Lalu beliau beranggapan bahwa
konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu
atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tak akan mungkin terlibat dalam
konflik. Inilah yang Dahrendorf sebut dengan “integrated into a common frame
of reference”. Analisis yang dipakainya adalah pengaruh konflik yang
kemudian menciptakan perubahan-perubahan pola interaksi dalam sebuah sistem.
Berlawanan dengan tradisi fungsionalisme struktural yang menganalisis
berdasarkan konsensus yang disepakati oleh para anggota sistem sosial.
Dari ketiga tokoh yang mengemukakan teori konflik
tersebut diatas, maka dapat saya asumsikan gagasan saya terkait solusi yang
dapat ditempuh sebagai upaya dalam pemecahan masalah, yaitu 1) Model
penyelesaian masalah harus berdasarkan langsung pada konfliknya, maksudnya kita
mengetahui dulu sumber-sumber konflik berdasarakan data dan fakta, relasi,
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kepentingan dan strukturalnya. 2)
Manawarkan metode untuk mengakhiri konflik tersebut yang tidak menguntungkan
satu pihak dan tidak juga merugikan pihak lain. 3) Memberikan pencerahan
terkait adanya pluralisme budaya yang ada di Indonesia bahwa NKRI ini kaya
karena terdiri banyak kebudayaan, perbedaan maka menyartu menjadi bangsa yang
kuat. 4) penyelesaian menggunakan perantara pihak ketiga bisa dengan kompromi
dan rekonsiliasi.
[1]
Dikutip dari buku (Susan, Novri. 2009. Pengantar
Sosiologi Konflik dan Isu-isu Kontemporer. Jakarta : Kencana)
[2]
Menurut Abdul Raziq al-Mukhi, dikutip dari (http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2015/06/teori-teori-konflik-ibnu-khaldun.html)
pada tanggal 30 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar